Mengakrabi Gus Dur

















Dilansir dari Jurnal nasional, 2 Maret 2011

Judul : Gus Dur Van Jombang
Penulis : Heru Prasetia dan Edi Jatmiko
Penerbit : Bentang
Cetakan : I, September 2010
Tebal : 122 halaman


Ada banyak ragam buku dan penelitian ilmiah yang mempublikasikan ide-ide pemikiran Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. Namun di antara tumpukan publikasi itu, rasanya belum banyak—untuk tidak mengatakan nihil—buku tentang Gus Dur yang ditulis dalam bentuk komik. Maka buku ini hadir dengan panorama yang berbeda, unik, dan jenaka, yang mengetengahkan sejarah perjalanan hidup ‘sang guru bangsa’.

Sosok Gus Dur dalam buku ini ditampilkan apa adanya, sebagai orang biasa, yang menyenangi hiburan-hiburan rakyat pada umumnya, seperti hobi menonton pagelaran wayang, bermain sepak bola, dan lain-lain. Kontroversi-kontroversi sikap dan pemikiran-pemikirannya semasa hidup, juga tak luput dari sorotan penulis naskah dan ilustratornya, Heru Prasetia dan Edi Jatmiko.

Gus Dur yang ramah, suka bercanda, “banyol”, “keras kepala” dalam mempertahankan apa yang ia yakini benar, menjadi bumbu penyedap dalam hidangan buku setebal 122 halaman ini. Namun demikian, walau jauh dari kesan “serius” bernada teoritis, buku ini cukup mampu merekam jejak-jejak sejarah penting yang dialami Gus Dur semasa hidup.

Gus Dur adalah pejuang dalam banyak hal. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta termasuk kebebasan pers, sangat gigih ia perjuangkan. Gus Dur tidak mudah terjebak pada arus utama, tapi selalu mencari suara-suara alternatif, yang luput dari perhatian masyarakat umum.

Soal kontroversi protes kelompok Islam terhadap novel “Ayat-Ayat Setan” karya Salman Rushdi, misalnya, yang dianggap menghina Islam, Gus Dur dengan santai menanggapinya, “belum baca, kok, sudah protes” (hlm. 65). Ada pula tentang kebebasan pers, saat di tahun 1990 terjadi “Monitor”, tabloid yang menempatkan Nabi Muhammad di urutan ke-11 orang-orang terpopuler.

Tokoh-tokoh Islam baik moderat maupun radikal mengecam “Monitor”. Namun lagi-lagi Gus Dur meresponsnya secara arif dan bijak. “Arswendo (penanggungjawab “Monitor”) memang keliru, tapi kita tidak boleh memenjarakannya atau membredel korannya. Kalau ndak setuju, ya jangan beli korannya. Gitu aja kok repot” (hlm. 69).

Membaca buku ini, sunguh terasa dekat dan akrab dengan Gus Dur. Penulisnya sangat lihai dan cermat memasukkan hal-hal penting yang dianggap layak diketahui oleh publik. Dari masa kecil hingga sepak terjangnya di PBNU, bersitegang dengan rezim Soeharto, dan bahkan di masa-masa ia menjadi presiden RI, secara gambalang ditampilkan oleh penulisnya.

Di suatu waktu, tahun 1983, terselenggara Munas Alim Ulama NU di pesantren Situbondo-Jawa Timur. Munas ini hendak membincangkan sikap NU terhadap Pancasila. Namun di arena Munas, diketahui banyak inteljel negara yang sengaja disusupkan oleh pemerintah untuk mengawasi hal apa saja yang diputuskan dalam Munas, termasuk keputusan, apakah NU menerima Pancasila sebagai asas atau tidak.

Yang menarik, ketika KH. Tholhah Mansyur, salah seorang pimpinan di tubuh PBNU, hendak memberikan pidato, Gus Dur membisikinya agar penyampaiannya tidak diujarkan dalam bahasa Indonesia, tapi dengan bahasa Arab. Hal ini dilakukan, menurut taktik dan strategi Gus Dur, agar para Inteljen pemerintah itu tidak tahu dan tidak mengerti atas apa yang dibicarakan selama Munas berlangsung.

Satu tahun kemudian, 1984, Muktamar NU di Situbondo menetapkan apa yang sudah menjadi kesepakatan dalam Munas 1983, yaitu menerima Pancasila sebagai asas. Keputusan ini, walau mungkin sejalan dengan apa yang diinginkan pemerintah untuk menyeragamkan ideologi Pancasila sebagai asas bagi semua organisasi kemasyarakatan, tapi NU di bawah kendali Gus Dur, tetap melakukan kontrol dan kritik tajam terhadap sistem pemerintah otoritarianisme Orde Baru.

Pembelaan terhadap wong cilik dan korban-korban marginalisasi yang sengaja ‘diciptakan’ oleh negara, menjadi perhatian utama Gus Dur. Gus Dur, yang waktu itu menjabat sebagai ketua Tanfidziyah bersama KH. Achmad Siddiq sebagai Rais Aam, hasil Muktamar 1984, dijadikannya sebagai ‘kendaraan’ untuk melakukan penyisiran ke daerah-daerah untuk mengetahui informasi objektif di lapangan.

Gus Dur juga dikenal sangat bersemangat melakukan pembaruan di internal NU, maupun di kalangan umat Islam. Gus Dur-lah yang paling intens menyuarakan pentingnya menghargai dan menghormati komunitas lain lewat pemahaman subtil arti pluralisme agama dan toleransi beragama. Di samping itu, gagasan yang paling fenomenal adalah soal pribumisasi Islam, yang walaupaun dihujat sana dan sini, tapi di kemudian hari banyak yang bersetuju dengan ide-idenya itu. Kata Gus Dur, “menjadi seorang muslim itu harus pede. Harus berani bergaul. Termasuk pada orang-orang beda agama. NU itu ibarat mobil, kalau semua menginjak rem, ya gak maju-maju” (hlm. 67).

Dengan demikian, menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi pemikiran dan gerakan bagi generasi penerusnya tidaklah salah dan rugi. Tidak perlu mendapat gelar pahlawan dari pemerintah pun, rasanya ia telah lebih dulu menjadi pahlawan dan pujaan hati masyarakat luas. Terbukti, dengan berjibunnya para pelayat saat ia akan dikebumikan di tanah Jombang, dan tingginya animo peziarah hingga hari ini, adalah bukti nyata tak terbantahkan bahwa Gus Dur meskipun kontroversial, dicacimaki oleh lawan-lawan politiknya, tetaplah sebagai pahlawan dan selalu dikenang sepanjang masa.
*Ali Usman, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

6 komentar:

  1. Apa yang disebut dengan pemikiran yang revolusioner? Revolusioner berasal dari kata revolusi, yang berarti perubahan mendasar secara spontan, cepat, dan bersifat struktural. Kalau kami mengatakan bahwa Gus Dur adalah seorang revolusioner dalam artian meletakkan perubahan yang mendasar dan spontan.

    BalasHapus
  2. Buku yang bagus. Kita banyak berutang budi pada Gus Dur.

    BalasHapus
  3. to all: tks atas respons dan apresiasinya. salam buku!

    BalasHapus
  4. terima kasih atas informasinya
    sungguh bermanfaat artikel ini..thanks for share
    mobil kota

    BalasHapus
  5. Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga

    kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!velg mobil

    BalasHapus
  6. Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!Harga Nissan grand Livina Bekas

    BalasHapus