Melahirkan Budaya Baru Perusahaan

Dilansir dari Koran Jakarta, 12 Oktober 2012
Judul               : BOM: Business Owner Mentality
Penulis             : Hendrik Lim
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Tahun              : I, Juni, 2012
Tebal               : 506 halaman

Apakah pembaca termasuk orang yang selalu mengalami kegagalan dalam berbisnis? Ataukah orang yang baru akan merintis dunia usaha? Mungkin juga sebelum terjun langsung ke dunia bisnis, tertarik untuk mengetahui terlebih dulu segala sesuatu yang harus dipersiapkan dan dimiliki calon pengusaha?

Buku ini tidak menguraikan langkah-langkah praktis dalam menjalankan bisnis, tetapi lebih pada cara membangun kekuatan mental berbisnis. Hendrik Lim, penulisnya, merancang model perpaduan mental entrepreneurship yang harus dimiliki seorang pebisnis dalam management leadership perusahaannya.

Hendrik Lim menyebutnya sebagai Business Owner Mentality (BOM). Kesuksesan atau kemakmuran bagi dia layaknya sebuah science. Ia punya kekuatan untuk dipublikasi. Science mengandaikan adanya aturan, a governing law yang menghasilkan pola cetakan tertentu.

Tugas manusia hanyalah berkata pada diri sendiri, "percaya saja!" atau "yakin!", dan melakukan bagian yang harus dikerjakan. Sistem pasti bekerja. Bila hasilnya belum kelihatan secara fisik, jangan gampang patah arang sebab sesungguhnya sedang tercipta realitas spirit. Hanya masalah waktu dia akan menemukan korespondensinya dalam bentuk fisik (halaman 356).

Yang perlu disadari, hasil sebuah aktivitas tidak selalu bisa dinikmati seketika. Ia terkadang membutuhkan proses cukup lama untuk mencapai target. Sama seperti orang mengikuti program fi tness untuk menurunkan berat badan. Dia harus mengikuti standar operasi, misalnya berjalan cepat di atas treadmill satu jam setiap hari akan membakar 600 kalori per hari. Dalam enam bulan, pasti berat badannya turun.

Sistem sudah bekerja dan terbukti. Ini a proven system, seperti sebuah science. Jadi tidak bisa orang yang menjalankan program berharap dengan 1 menit saja dapat membakar 600 kalori. Begitu pula dengan konsep pembentukan mindset entrepreneurship, kemakmuran, tingkat kekayaan, atau kesuksesan. Mereka tercipta dengan analogi yang sama seperti contoh tesebut.

Kalau masyarakat mulai melakukan hal seperti yang diprogramkan dalam fitness dalam tata kelola cara berpikir, dan mengganti pola track pikiran sebelumnya yang tidak terbukti manjur, mereka baru akan melihat perbedaannya enam bulan mendatang.

Masalahnya, banyak orang yang tidak sabar menunggu selama enam bulan. Ketika ia memutuskan menggunakan cara baru, tetapi setelah satu atau dua bulan tidak terlihat hasil signifi kan, ia kembali lagi ke cara lama.

Artinya, mengharapkan enam bulan ada perubahan, tetapi selama itu tidak berbuat apa-apa, masih menjalankan "lagu" lama, ya tidak ada yang baru. Begitu pula andai orang akan mencanangkan program BOM dalam organisasi perusahaan.

Penulis memberi harapan besar, dengan menerapkan BOM, akan lahir corporate culture yang sanggup menggabungkan kekuatan managerial capability dan entrepreneurial spirit sehingga perusahaan menjadi besar. Meski besar, dia tetap lincah, langsing, punya business sense, nonbirokratis, dan penuh inisiatif.
*Ali Usman, pegiat espeje community di Yogyakarta
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102867
 

Membangun Mental Baja Wirausaha


Dilansir dari Bisnis Indonesia, 16 September 2012
Judul               : BOM: Business Owner Mentality
Penulis             : Hendrik Lim
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Tahun              : I, Juni, 2012
Tebal               : 506 halaman

Buku ini cocok bagi Anda yang ingin membangun kekuatan mental berbisnis. Hendrik Lim merancang model perpaduan mental entrepreneurship yang harus dimiliki oleh seorang pebisnis dalam management leadership perusahaanya.

Dia berangkat dari sebuah tesis atau ungkapan terkenal, “entrepreneurship is a state of mind”. Maksudnya adalah siapa pun bisa menjadi entrepreneur, dan bisa mengadopsi mentalitas tersebut di mana pun ia bekerja.

Hendrik Lim menyebutnya sebagai Business Owner Mentality (BOM). Bisnis, dalam arti ini sebenarnya tidaklah selalu identik dengan kerja-kerja (organsiasi) perusahaan, tetapi juga dapat bermakna pada setiap aktivitas individu yang menekuni dunia bisnis dengan segala variasi atau bentuknya.

Mengembangkan organisasi perusahaan dengan pendekatan entrepreneurial leadership berarti mendesain perangkat, sistem struktur, strategi, leadership style, values, beliefe, mindset, dan mentalitas yang relevan dengan kultur entrepreneur. Jadi sifatnya komprehensif, dan memang penuh tantangan serta tidak mudah menjalankannya.

Ketika seorang entrepreneur bertemu dengan satu peluang bisnis, maka matanya harus tertuju pada proyeksi hasil. Ia berani menatap tantangannya, dan mencari jalan keluar. Hanya pola seperti ini yang bisa mendatangkan cash flow atau pendapatan.

Orang yang tidak punya mental business owner lebih sering melihat pada masalah seperti tidak ada modal, tidak ada kenalan, belum tahu pasar, belum tahu caranya, terlalu sulit, belum tepat waktunya, dan beribu alasan lainnya. Menguasai mentalitas entrepreneurship itu artinya memusatkan perhatian pada apa yang mungkin dihasilkan, bukan terobsesi pada hambatan dan kelemahan. Bukan pula pada faktor kendala atau pun rintangan (hlm. 15-16).

Dalam bahasa yang lebih sederhana, apa yang dijelaskan Hendrik Lim itu biasa dekenal dengan istilah “jemput bola”, “mentalitas penyerang” atau pressing forward, yang secara proaktif mengejar peluang. Pendekatan model ini hanya bisa dilakukan jika orang punya karakter keberanian mengambil resiko, mencoba hal-hal baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Soal sukses atau gagal merupakan kewajaran dalam setiap menjalankan usaha bisnis.

Dalam buku ini, ada tiga hal utama yang diperlukan ketika hendak mengadopsi BOM yaitu percaya pada sistem, memotivasi diri terutama pada fase-fase datar, dan tidak selalu percaya begitu saja apa yang dipikirkan (hlm. 355).
*Ali Usman, pegiat espeje community di Yogyakarta
 

Memaknai Keseharian














Dilansir dari Jurnal Nasional, 15 Januari 2012


Judul : Merajut Kata-kata
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 159 halaman

Ada banyak peristiwa dan pengalaman hidup yang kita alami berlalu begitu saja tanpa ada jejak makna yang membekas untuk dijadikan refleksi diri. Lazimnya orang baru mengamati serta mengambil hikmah dari peristiwa-peritiwa besar, seperti musibah gempa, banjir, longsor, dan lain-lain.
Tidak banyak orang yang melakukan internalisasi terhadap peristiwa-peristiwa kecil—atau mungkin dianggap remeh temeh—di sekitar kita, sebab itu dianggapnya hal yang biasa sehingga tak perlu repot-repot memikirkannya. Mana pernah kita merenungi makna gelas yang jatuh pecah? Yang timbul dalam hati, paling rasa sesal dan eman. Karena kita tahu, barang itu berharga, bagus dan juga mahal.

Hanya Stephie Kleden-Beetz, penulis buku ini, yang memaknai pecahnya gelas (simbol keduniawian) sebagai pengingat kalau semua di muka bumi adalah fana, maka kita diajak untuk mencari yang abadi, yaitu Kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Pepatah Jerman mengatakan, Glueck und glas wie leicht bricht das (kebahagiaan dan kaca betapa mudah pecah).

Stephie, yang pernah tinggal cukup lama di Eropa, dan kini ia di Malang, hendak mengajak pembacanya agar memaknai sekaligus merenungi setiap peristiwa-peristiwa yang kita alami dalam keseharian. Dalam ‘seni menulis’, Stephie tidaklah kalah dengan adiknya, Ignas Kleden. Ia sangat lihai dan piawai menganyam huruf menjadi kata, lalu menyusunnya berbentuk untaian kalimat yang bernas, padat, dan berkarakter.

Tentang hakikat miskin dan kaya, misalnya, Stephie menceritakan. Suatu hari, seorang ayah kaya-raya mengajak putranya berkeliling melihat keluarga-keluarga miskin. Maksud utamanya ialah agar putranya sadar betapa kayanya mereka dibandingkan dengan orang lain yang tidak mampu. Dalam perjalanan pulang, terjadilah percakapan antara ayah dan anak.

Si ayah menanyakan kepada anaknya: “katakan apa yang telah kamu pelajari dari pengalaman ini?” Jawab si anak: “… kita punya kolam renang yang bagus, luas, di tengah taman. Mereka punya teluk indah yang tak berujung; kita punya lampu taman mahal buatan luar negeri. Mereka punya bintang di langit setiap malam; kita punya teras belakang yang luas menjangkau pekarangan, tapi mereka punya seluruh alam semesta; kita punya sejengkal tanah untuk hidup dengan pajak bumi yang tinggi. Mereka punya ladang luas untuk hidup selamanya; kita punya banyak pembantu yang melayani, tapi mereka saling melayani dan saling menolong; kita punya tembok dan pagar tinggi untuk melindungi harta benda kita, tapi mereka punya teman untuk melindungi mereka (hlm. 34-35).

Pilihan judul Merajut Kata-kata, sebenarnya bukanlah simpulan dari keseluruhan tema permenungan Stephie, tapi lebih pada sikap dirinya dalam mencerna realitas, yang kemudian ia narasikan lewat bait-bait kata indah dan eksotis. Keistimewaan lain dari buku ini selain karena gaya bahasa tulisnya, juga didukung oleh daya pikat ilustrasi gambar yang sangat memesona, mengiringi setiap tema.

Membaca buku ini sebaiknya dinikmati dalam suasana hati yang tenang, agar kandungan isinya terserap masuk ke lubuk sanubari. Sebab bila tidak mampu menjiwainya, sungguh disayangkan, karena panorama makna di balik peristiwa-peristiwa yang diungkap Stephie itu, dibarengi pula dengan ungkapan-ungkapan hikmah, baik berdasarkan kutipan dari perkataan filusuf, sastrawan, teolog, dan Al-Kitab.

Pada hemat saya, Stephie menempuh setidaknya tiga strategi dalam menyusun buku setebal 159 halaman ini. Pertama, ada kalanya Stephie bertutur lancar, mengalir deras, menceritakan apa yang ia amati di sekitarnya. Ini bisa disimak pada uraianya tentang “Api dan Lidah”, yang menganjurkan kita untuk menjaga ucapan. Di akhir tulisan, ia mengutip Santo Yakobus (Yak 3: 3-8), lidah (pun) adalah api, yang berarti bisa membakar.

Kedua, di bagian lain, Stephie tampak tidak semua secara langsung menceritakan pengalamannya sendiri, tapi berdasakan kisah dari teman atau orang-orang terdekatnya, atau kadang pula menarasikan ulang hasil bacaan yang pernah ia temukan di sejumlah buku. Seperti pada tema “Temanku Guru Matematika”, yang menceritakan tentang seorang bapak penjual galon air bekas, bercita-cita hendak membelikan handphone untuk ulang tahun anaknya. Padahal, pendapatannya tidaklah banyak. Cuma tiga puluh ribu perhari. Itu pun kalau beruntung.

Singkat cerita, saat pulang ke rumah, bapak itu membagi hasil jerih payah penghasilannya itu dengan cara membagi dua: separuh untuk sesuap nasi, dan separuhnya lagi untuk ditabung demi membahagiakan anak terkasih. Maka tidaklah heran, saat waktunya tiba, mata anak dan istrinya basah, tetapi tak ada suara yang keluar karena disumbat oleh rasa haru dan bahagia. Hidup memang bukan matematika, melainkan seni dengan berbagai rahasianya. Dan rahasia terbesar tentulah cinta (hlm. 55-56).

Ketiga, Stephie menerapkan metode penulisan dengan terlebih dulu mengantongi beberapa ungkapan bijak, lalu setelah itu dicari serta menyusun kisah yang dapat membalut utuh ungkapan itu. Contoh yang paling tepat atas metode ini, ada pada tema “Ingin Tahu”, yang di dalamnya terdapat ungkapan atau pernyataan Santo Agustinus dalam Confessions, tahun 397 Masehi, “Jauh sebelum langit dan bumi diciptakan, Tuhan telah merancang ruang untuk rasa ingin tahu”.

Akhirnya, tampaklah kalau Stephie adalah seorang pembaca buku yang tekun, dan seorang yang taat memegang ajaran-ajaran iman Kristen. Mutiara hikmah yang sengaja ditaburkan oleh Stephie tentu saja memberikan surprise berharga bagi pembacanya. Strategi ini tentu menjadi langkah efektif untuk membuat tulisan tidak monoton, dan betah membacanya.
*Ali Usman, pecinta buku, dan pegiat espeje community di Yogyakarta
http://www.jurnas.com/halaman/40/2012-01-15

Filsafat Politik dalam Realitas Indonesia

Dilansir dari Gatra, 15-21 Desember 2011
Judul : Berfilsafat Politik
Penulis : E. Armada Riyanto
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, September 2011
Tebal : 216 halaman

Realitas politik nasional menunjukkan pada proses pendangkalan dan miskin makna. Kehidupan politik seolah terwakili dengan perdebatan pasal dan undang-undang di parlemen, padahal berbicara politik, sesungguhnya mencakup pula kehidupan manusia di luar struktur pemerintahan. Konstruksi pemikiran ini jelas secara nyata akan berakibat pada proses pengambilan kebijakan.

Karena itu, makna politik menurut E. Armada Riyanto, penulis buku ini, telah mengalami “reduksifasi”. Politik yang memiliki cakupan kedalaman pengalaman hidup manusia secara menyeluruh tereduksifasi pada nama-nama pribadi yang populer entah karena jabatan (exofficio), entah keterlibatannya pada perkara hukum maupun karena lontaran-lontaran kata atau istilah aneh semacam “cicak-buaya”, “markus” (makelar kasus), cukong peradilan, dan lain sebagainya.

Dalam ranah filsafat politik reduksifasi menjadi cetusan konkret kenaifan. Sebab reduksifasi adalah sebuah kesempitan cara berpikir. Dalam reduksifasi, perkara politik dikamuflase oleh kepentingan sempit dan dinamikanya berubah menjadi “seolah-olah”. Tengoklah, seperti kasus korupsi “seolah-olah” selesai dengan hak angket perkara bank Century.

Apa artinya jika politik jatuh dalam kenaifan? Makin menipis atau makin memudarnya pengharapan. Itulah yang terjadi. Kasus hukum yang menimpa Minah dan Pritasari menarik dijadikan contoh ketika mengeluh, “Aku lelah, tidak tahu lagi ke mana harus mencari keadilan!” Minah adalah perempuan buta hukum yang dituduh mencuri tiga kakao dan lantas diseret ke sebuah selebrasi pengadilan. Sementara Pritasari adalah seorang ibu rumah tangga yang babak belur oleh deretan sistem hukum yang menyeretnya, lantaran email keluhan atas perlakuan aneh dari sebuah rumah sakit ternama di Tanah Air.

Lewat buku ini, E. Armada Riyanto mengajak kita untuk memahami politik tidak sekadar berdasarkan fakta-fakta keseharian yang telah mengalami reduksifasi, tetapi perlu pula beranjak ke dalam bingkai saintifikasi, yaitu memberi artikulasi bahwa politik ada dalam ranah keilmuan. Saintifikasi politik diperlukan untuk mengimbangi makna politik yang kerap terjerembab dalam ingar-bingar aneka intrik perebutan kekuasaan, yang menyebabkan maknanya jauh dari ranah keilmuan. Saintifikasi politik dimaksudkan berada dalam proses mengedepankan rasionalitas, bukan emosialitas; atau strategi, bukan intimidasi; kecerdasan, bukan manipulasi; keindahan paradigma, bukan kepalsuan; kedalaman refleksif, bukan kedangkalan letupan-letupan provokatif (hlm. 15).

Aneka uraian refleksi-filosofis buku ini memiliki bahasa lugas dan jernih. Mengangkat peristiwa sehari-hari secara tajam, menawarkan cara-cara baru dan mendalam untuk mengenali duka dan kecemasan societas, memaknai pengalamannya secara kaya, mengkritik kenaifannya, serta membela otentisitas kebenarannya dalam tata kelola hidup bersama. Metodologi yang diterapkan oleh E. Armada Riyanto adalah philosophical-phenomenological-sketchy, yang memungkinkan masuk serta merambah tema-tema besar dalam dunia politik, seperti sejarah Indonesia, Pancasila, hukum, identitas, terorisme, persahabatan societas, dan lain-lain.

Namun demikian, terdapat celah kecil dalam buku ini, yang menurut saya masih perlu terus dikembangkan lebih lanjut. Ini terjadi karena di dalamnya merupakan kumpulan-kumpulan tulisan dari pidato profesorat E. Armada Riyanto, sehingga pada bagian-bagian tertentu terkesan kurang tuntas mengeksplorasi argumen-argumen filosofisnya.

Sebab kekuatan buku ini justru sebenarnya terletak pada pilihan disiplin filsafat yang dijadikan spektrum dalam membaca politik. Berfilsafat politik berarti menggali arti terdalam dari “apakah politik” itu. Jika makna politik dilepaskan dari filsafat, politik akan mudah tercebur ke dalam konflik, persaingan, dan bahkan perang. Logika konflik adalah logika menang kalah. Berfilsafat politik dalam bahasa Charles Taylor memiliki tujuan menjadikan dunia ini the enchanted world (dunia yang memesona).

Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik. Bedanya ada dalam ranah “perspektif”. Yang pertama memiliki perspektif filosofis, yang kedua tidak. Selain itu, perspektif ilmu memiliki cakupan pembahasan dan metodologi yang tunduk pada ranah ilmiah empirik (hlm. 33), sementara filsafat melampaui kerangka kaku itu.

Dalam bahasa lain, berfilsafat politik menurut E. Armada Riyanto adalah aktivitas dan tugas manusia sejauh manusia. Aktivitas ini milik setiap orang, tidak hanya politikus atau tokoh masyarakat. Artinya, sejauh manusia berpikir dengan akal budinya, setiap orang memiliki perhatian (concern), rasa cinta (care), dan keterlibatan (involvement) pada tata hidup societasnya.

Politik merupakan perkara tata kelola hidup bersama, yang dalam konteks Indonesia tidak mungkin dicabut dari akar sejarah peziarahannya sebagai bangsa, berupa kekayaan identitas di satu pihak, dan bergumul dengan konflik dan ketegangan di pihak lain. Lebih-lebih di era postmodern di mana kulturalitas dan religiusitas campur baur, Indonesia mengalami dinamika ups and down yang konstruktif-dekonstruktif dalam perjalanannya.

Selamat membaca!

*Ali Usman, peneliti di Laboratorium Filsafat Fakultas Ushuludin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jurnalisme Kritis di Kawasan Konflik

Dilansir dari Harian Jogja, 15 Desember 2011

Judul : Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : KPG
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : 147 halaman

Dewasa ini, banyak bermunculan tulisan bergenre sastra yang ditulis oleh novelis-novelis Indonesia dengan menjadikan tema-tema sosial-aktual sebagai objek imajinasinya. Beberapa di antaranya adalah tema tentang konflik etnis, terorisme, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Pengambilan objek tema aktual ini tentu saja bukan menunjukkan kemunduran, tetapi sebaliknya, justru sebagai kamajuan yang layak diapresiasi.


Buku berjudul Jangan Tulis Kami Teroris ini merupakan judul pilihan dari kumpulan banyak tulisan reportase penulisnya, Linda Christanty. Judul tulisan tersebut sengaja dipilih oleh penulisnya, atau mungkin editor penerbitnya, karena dianggap menarik dan dianggap pula mewakili dari keseluruhan tulisan yang ikut menyertainya.

Dalam setiap tulisan di buku ini, Linda tampak memadukan gaya tulisan khas seorang ewartawan dan sastra—atau yang barangkali layak disebut sebagai “jurnalisme sastrawi”. Itu sebabnya, selain karena ketajaman dan daya kritis tulisannya, Linda telah mendapat banyak penghargaan sekaligus pengakuan dari berbagai lembaga sebagai penulis yang sebenarnya lebih tepat disebut citizen journalism, daripada sebagai wartawan dalam arti umum atau konvensional.

Tahun 2004, untuk buku cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto, berhasil meraih Khatulistiwa Literary Award. Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Esainya, “Kekerasan dan Militerisme di Timor Leste”, mendapat penghargaan sebagai esai terbaik Hak Asasi Manusia tahun 1998. Petikan novelnya tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di Tokyo, februari 2008.

Selain itu, cerita pendeknya yang berlatar politik 1965, “Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa Indonesia di SMA seluruh Negara bagian New South Wales, Australia. Pada 2010, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa Menuju Atjeh. Di tahun yang sama buku cerita pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Literary Award 2010 dan membuatnya meraih penghargaan sastra tersebut sebanyak dua kali dalam satu decade. Kini, Linda bertindak sebagai pendiri sekaligus pemimpin kantor berita Aceh Feature di Banda Aceh.

Judul tulisan Jangan Tulis Kami Teroris di buku ini, bercerita tentang reportase yang begitu mendalam untuk mencari fakta atau kebenaran adanya teroris di Aceh. Linda menyusuri hutan belantara dan pegunungan, untuk menemui serta menanyakan langsung kepada nara sumber tokoh kunci bernama Tengku Muslim, yang oleh media disebut-sebut sebagai salah seorang yang mempunyai hubungan diplomasi dengan jaringan teroris Internasional.

Namun Tengku Muslim menampik isu teroris yang dialamatkan padanya beserta jemaah atau santri-santrinya. Dan sejauh ini, menurut beberapa kalangan tokoh Islam di Aceh, media dan aparat pemerintah cenderung memelintir isu soal terorisme kepada mereka yang sebenarnya hendak menolong dan membantu saudara sesama muslim di tempat lain (seperti ajakan berjihad ke Palestina) lantaran ketertindasan yang dialami mereka. “Jangan tulis kami teroris! Jangan tulis kami teroris!”, teriak lantang orang-orang berjubah itu.

“Ajakan berjihad ke Palestina tidak sembunyi-sembunyi. Iklannya dimuat suratkabar Serambi tiga hari setelah Presiden SBY menyatakan mendukung negara Palestina yang berdaulat. Artinya, kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) menyambut pernyataan pemerintah Indonesia lewat tindakan. Tapi setelah itu ada isu mereka teroris. Ini mungkin kontrainteljen. Tapi ini juga menunjukkan scenario mereka yang kurang matang dan mudah terbaca” (hlm. 72), kata Fahmi salah seorang narasumber Linda.

Dengan menyertakan kutipan langsung dari Fahmi tersebut, Linda tidak bermaksud melakukan apresiasi atau dukungan terhadap ideologi kelompok tertentu, termasuk FPI. Dengan cara itu, Linda justru hendak menampilkan keobjetivannya dalam melaporkan sebuah persoalan dalam bentuk berita. Selain itu, sepanjang dialognya dengan beberapa narasumber, Linda bahkan tampak kritis dengan mencerca banyak pertanyaan yang sulit dijawab oleh narasumber.

Di buku ini, Linda memang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas, yaitu Asia Tenggara. Dia mewawancarai berbagai kalangan, mulai dari anggota FPI dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, Patani-Thailand Selatan, dan Kamboja. Bagi Linda, tempat-tempat dan pengalaman itu membuka kesadaran bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terjadi dengan mengatasnamakan apa saja: suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan demokrasi. Di tengah situasi genting penuh konflik itulah, Linda mampu menerapkan jurnalisme kritisnya.

Selamat membaca!

*Ali Usman, pegiat espeje community di Yogyakarta