Jurnalisme Kritis di Kawasan Konflik

Dilansir dari Harian Jogja, 15 Desember 2011

Judul : Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : KPG
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : 147 halaman

Dewasa ini, banyak bermunculan tulisan bergenre sastra yang ditulis oleh novelis-novelis Indonesia dengan menjadikan tema-tema sosial-aktual sebagai objek imajinasinya. Beberapa di antaranya adalah tema tentang konflik etnis, terorisme, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Pengambilan objek tema aktual ini tentu saja bukan menunjukkan kemunduran, tetapi sebaliknya, justru sebagai kamajuan yang layak diapresiasi.


Buku berjudul Jangan Tulis Kami Teroris ini merupakan judul pilihan dari kumpulan banyak tulisan reportase penulisnya, Linda Christanty. Judul tulisan tersebut sengaja dipilih oleh penulisnya, atau mungkin editor penerbitnya, karena dianggap menarik dan dianggap pula mewakili dari keseluruhan tulisan yang ikut menyertainya.

Dalam setiap tulisan di buku ini, Linda tampak memadukan gaya tulisan khas seorang ewartawan dan sastra—atau yang barangkali layak disebut sebagai “jurnalisme sastrawi”. Itu sebabnya, selain karena ketajaman dan daya kritis tulisannya, Linda telah mendapat banyak penghargaan sekaligus pengakuan dari berbagai lembaga sebagai penulis yang sebenarnya lebih tepat disebut citizen journalism, daripada sebagai wartawan dalam arti umum atau konvensional.

Tahun 2004, untuk buku cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto, berhasil meraih Khatulistiwa Literary Award. Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Esainya, “Kekerasan dan Militerisme di Timor Leste”, mendapat penghargaan sebagai esai terbaik Hak Asasi Manusia tahun 1998. Petikan novelnya tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di Tokyo, februari 2008.

Selain itu, cerita pendeknya yang berlatar politik 1965, “Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa Indonesia di SMA seluruh Negara bagian New South Wales, Australia. Pada 2010, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa Menuju Atjeh. Di tahun yang sama buku cerita pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Literary Award 2010 dan membuatnya meraih penghargaan sastra tersebut sebanyak dua kali dalam satu decade. Kini, Linda bertindak sebagai pendiri sekaligus pemimpin kantor berita Aceh Feature di Banda Aceh.

Judul tulisan Jangan Tulis Kami Teroris di buku ini, bercerita tentang reportase yang begitu mendalam untuk mencari fakta atau kebenaran adanya teroris di Aceh. Linda menyusuri hutan belantara dan pegunungan, untuk menemui serta menanyakan langsung kepada nara sumber tokoh kunci bernama Tengku Muslim, yang oleh media disebut-sebut sebagai salah seorang yang mempunyai hubungan diplomasi dengan jaringan teroris Internasional.

Namun Tengku Muslim menampik isu teroris yang dialamatkan padanya beserta jemaah atau santri-santrinya. Dan sejauh ini, menurut beberapa kalangan tokoh Islam di Aceh, media dan aparat pemerintah cenderung memelintir isu soal terorisme kepada mereka yang sebenarnya hendak menolong dan membantu saudara sesama muslim di tempat lain (seperti ajakan berjihad ke Palestina) lantaran ketertindasan yang dialami mereka. “Jangan tulis kami teroris! Jangan tulis kami teroris!”, teriak lantang orang-orang berjubah itu.

“Ajakan berjihad ke Palestina tidak sembunyi-sembunyi. Iklannya dimuat suratkabar Serambi tiga hari setelah Presiden SBY menyatakan mendukung negara Palestina yang berdaulat. Artinya, kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) menyambut pernyataan pemerintah Indonesia lewat tindakan. Tapi setelah itu ada isu mereka teroris. Ini mungkin kontrainteljen. Tapi ini juga menunjukkan scenario mereka yang kurang matang dan mudah terbaca” (hlm. 72), kata Fahmi salah seorang narasumber Linda.

Dengan menyertakan kutipan langsung dari Fahmi tersebut, Linda tidak bermaksud melakukan apresiasi atau dukungan terhadap ideologi kelompok tertentu, termasuk FPI. Dengan cara itu, Linda justru hendak menampilkan keobjetivannya dalam melaporkan sebuah persoalan dalam bentuk berita. Selain itu, sepanjang dialognya dengan beberapa narasumber, Linda bahkan tampak kritis dengan mencerca banyak pertanyaan yang sulit dijawab oleh narasumber.

Di buku ini, Linda memang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas, yaitu Asia Tenggara. Dia mewawancarai berbagai kalangan, mulai dari anggota FPI dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, Patani-Thailand Selatan, dan Kamboja. Bagi Linda, tempat-tempat dan pengalaman itu membuka kesadaran bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terjadi dengan mengatasnamakan apa saja: suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan demokrasi. Di tengah situasi genting penuh konflik itulah, Linda mampu menerapkan jurnalisme kritisnya.

Selamat membaca!

*Ali Usman, pegiat espeje community di Yogyakarta


3 komentar:

  1. Wow, tanpa menyamarkan narasumber.

    BalasHapus
  2. terima kasih atas informasinya..
    semoga dapat bermanfaat bagi kita semua :) mobil sport

    BalasHapus

  3. Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!Harga Toyota Yaris 2014

    BalasHapus