Langkah Penyelamatan Bumi Versi Al Gore






















Dipublikasikan di GATRA, 10-16 Februari 2011
Judul : Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim
Penulis : Al Gore
Penerjemah : Hardono Hadi
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : 446 halaman

Bumi dan manusia adalah satu kesatuan kosmis. Keduanya harus saling melengkapi. Tidak boleh ada yang ‘tersakiti’. Itu sebabnya, pengrusakan terhadap lingkungan sesungguhnya dapat merusak ekosistem alam, yang pada akhirnya akan mengancam eksistensi umat manusia yang hidup di atas hamparan bumi ini. Sampai kapankah daya tahan bumi, jika kita tak jua sadar untuk bergerak menyelamatkannya?

Andai ada planet lain yang setara dan semakmur planet bumi, mungkin banyak manusia berduyun-duyun berpindah tempat menuju “planet baru” itu. Planet bumi saat ini, boleh dibilang sudah tidak lagi kondusif untuk hidup. Rentetan bencana alam; banjir, longsor, gempa, stunami, kebakaran hutan, dan lain sebagainya, menjadi bukti nyata yang tak terbantahkan, bahwa bumi yang kita tempati sedang sakit parah akibat ulah penghuninya.

Kurt Vonnegut, seorang novelis Amerika yang meninggal hampir 20 tahun lalu, mengemukakan imajinasi futuristik yang sangat menarik. Dengan paduan antara surealisme, humor tersembunyi, dan olok-olok yang menjadi ciri khasnya, Vonnegut menulis, “Seandainya makhluk piring terbang atau malaikat atau apa pun yang datang ke sini (bumi), misalnya, seratus tahun dari sekarang, dan menemukan kita sudah punah seperti dinosaurus, pesan baik apa yang dapat ditinggalkan untuk mereka, yang mungkin diukir dengan tulisan-tulisan besar di dinding Grand Canyon?”.

Peradaban manusia dan sistem ekologi bumi saling berbenturan, dan krisis iklim merupakan hasil benturan paling jelas, merusak dan mengancam. Karena itu, buku ini menurut Al Gore, penulisnya, terfokus pada keputusan kolektif yang sekarang kita hadapi: menjadikan penyelamatan peradaban sebagai prinsip dasar untuk mengorganisir tindakan politik, ekonomi, dan sosial kita.

Dari aspek lain, buku setebal 446 halaman ini sangatlah istimewa. Tidak hanya pada ketajaman analisis Al Gore, tapi dibarengi pula oleh ilustrasi gambar riil yang sangat bagus dan mempesona. Dengan gambar-gambar itu, Al Gore hendak meyakinkan pembaca dan kita semua, tentang kondisi mutaakhir bumi. Ia menjelaskannya sangat detail, mulai dari sumber-sumber energi, sistem kehidupan (hutan, tanah, dan penduduk), hingga bagaimana kita (mestinya) menggunakan energi itu demi ‘memperpanjang’ usia bumi yang memang kian renta.

Para ahli menyebut situasi mencekam atas krisis lingkungan atau krisis iklim tersebut dengan istilah yang belakangan populer, yaitu global warming. Gerald Foley dalam Global Warming: Who is Taking The Heat (1991) berpendapat, krisis atau kerusakan lingkungan ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat penebalan lapisan CO2, penipisan lapisan ozon (O3) sebagai dampak dari rumah kaca. Tanda lainnya adalah rawan pangan, permukaan air laut yang makin tinggi, gangguan ekologi, dampak sosial politik, dan perubahan-perubahan iklim yang tidak menentu.

Isyarat Gerald di atas, hampir secara keseluruhan telah terjadi di alam semesta ini, tak terkecuali di bumi pertiwi Indonesia. Tengoklah betapa sulit, kita mengetahui batas musim, antara kemarau dan hujan. Bulan ini yang mestinya musim kemarau, nyatanya masih diguyur hujan deras hampir saban hari. Akibatnya, tidaklah heran jika wajah para petani kita tampak lesu lantaran tak lagi optimis menggarap sawah-sawahnya.

Pola pertanian dan degradasi tanah sekarang berlanjut menjadi penyebab jumlah polusi pemanasan global yang sangat besar. Dan yang mengejutkan, sebagaimana diungkap Al Gore, bahwa meskipun Amerika sukses dalam menangani erosi tanah, mekanisasi pertanian selama abad ke-20, penduduk yang empat kali lipat, perubahan dalam pola makan, ketersediaan sumber-sumber bensin dan minyak disel berbasis minyak, dan pemakaian pupuk nitrogen sintetik semuanya disatukan untuk menghasilkan pertanian modern sebagai salah satu sumber terbesar dari polusi pemanasan global (hlm. 216).

Karenanya, kebanyakan diskusi mengenai bagaimana mengatasi krisis iklim cenderung berfokus pada menghasilkan energi dengan cara-cara yang pada waktu sama tidak menghasilkan emisi CO2 berbahaya. Padahal pada tahap ini, pembakaran batubara, minyak, dan gas alam bukan hanya sumber CO2 terbesar, tetapi juga yang paling pesat meningkatkan sumber polusi pemanasan global.

Namun demikian, Al Gore menggarisbawahi kalau ada kabar baik dan kabar buruk terkait CO2. Kabar baiknya, kalau kita berhenti memproduksi CO2 secara berlebihan, sekitar separuh dari CO2 yang dihasilkan manusia, akan jatuh dari atmosfer (dihisap oleh samudera, tanaman, dan pepohonan) dalam waktu 30 tahun. Sedangkan kabar buruknya, yakni sisanya akan turun jauh lebih lambat, dan sebanyak 20 persen dari keseluruhan yang kita masukkan ke atmosfer tahun ini akan tetap berada di sana selama 1.000 tahun dari sekarang. Dan kita menempatkan 90 juta ton CO2 ke dalam atmosfer setiap harinya (hlm. 36).

Kini, yang harus dilakukan adalah menumbuhkan sekaligus mendorong kesadaran semua pihak untuk bertindak, sehingga anak-anak dan cucu kita akan mempunyai alasan untuk berterima kasih kepada kita. Meskipun beberapa akibat yang merugikan dari krisis iklim ini sudah (terlanjur) jalan, akibat yang paling mengerikan masih dapat dihindarkan. Maka kabar buruknya seharusnya memperteguh kita dengan rasa mendesak karena—untuk memparafrasekan peribahasa Cina—perjalanan seribu tahun dimulai dengan satu langkah.
*Ali Usman, aktivis sosial, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar