Wisata Kuliner Khas Keraton






















Dipublikasikan di Suara Merdeka, 6 Februari 2011

Judul : Potret Kekayaan Kuliner Yogyakarta “Kersanan Ndalem”: Menu Faforit Para Raja
Penulis : Murdijati Gardjito, dkk
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Oktober 2010
Tebal : 232 halaman

Jika Anda termasuk penyuka atau pencinta menu-menu makanan nusantara, rasanya tak lengkap bila tidak mencicipi kuliner khas keraton Jawa. Buku ini memberikan petunjuk arah bagi mereka yang penasaran untuk mengetahui makanan-makanan apa saja yang biasa disajikan bagi para raja di keraton. Dan memang, tulisan tentang makanan favorit para Raja, atau dalam buku ini disebut “kersanan ndalem” jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada—terpublikasi dalam khazanah perbukuan di Indonesia.

Kata “kersanan”, dalam bahasa Jawa berarti yang sangat disukai, sementara “ndalem” selalu terkait dengan yang sangat dihormati khususnya di kalangan masyarakat Jawa Yogyakarta dan Surakarta, yaitu sang Raja, Sultan (Yogyakarta) atau Sunan (Surakarta). Jadi maksud kersanan ndalem, dalam buku ini adalah sajian makanan beserta minumannya yang sangat disukai oleh Raja, karena ini menjadi istimewa apabila dikaitkan dengan kelezatan dan kenikmatan.

Buku ini, secara bagus menggambarkan bagaimana seorang Raja, pasti diperlakukan istimewa oleh seluruh rakyat/masyarakat khususnya masyarakat bangsawan yang notabene adalah kerabat sang Raja dan juga seluruh abdi dalem yang sepenuh jiwa mengabdi bekerja untuk sang Raja. Dalam hal dhahar dalem (santapan bagi Raja) ini, ada dapur khusus yang di Keraton Yogyakarta disebut Pawon Ageng.

Pawon Ageng dikepalai oleh seorang ahli masak dibantu beberapa orang staf, yang secara keseluruhan ‘tim masak’ ini disebut Boja. Setelah dimasak dan siap dihidangkan, maka kelompok petugas lain yang mengerjakan yaitu abdi dalem Keparakan. Abdi dalem ini mengusung Jodhang berisi hidangan santapan Raja. Minuman yang akan dipersembahkan pada Raja/Sultan dibuat dan dihidangkan oleh abdi dalem Patehan. Demikian setiap hari, kejadian ini masih berlangsung di dalam Keraton Yogyakarta hingga saat ini (hlm. 24).

Apa saja yang disantap Baginda Raja atau apa saja kegemaran Sultan, tentu istimewa dan patut dikeluarkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat kuliner, untuk ikut merasakan nikmat kersanan ndalem saat mencoba, mengikuti resep dan cara membuatnya. Kalau kenikmatan itu universal, tentunya sangat bagus apabila makin banyak yang ikut merasakan. Dan ternyata sebagian besar dari kersanan ndalem itu banyak yang hingga sekarang juga menjadi menu masakan masyarakat (seperti bobr komplit, gudeg, opor ayam), meskipun beberapa yang lain sudah tidak dikenal (seperti manuk enom, kongos, wedang adulimo).

Karena itu, kehadiran buku ini tentu merupakan terobosan baru dalam mengisahkan sisi lain para Raja, yang ternyata sangat menyukai kuliner nusantara, dan bahkan gemar memasak sendiri. Dikisahkan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selalu meluangkan waktu di antara kesibukannya di lingkungan keraton maupun di pemeritahan RI dengan melakukan kegiatan kesukaannya, yaitu memasak. Hal ini bertujuan untuk menyenangkan dan mendidik putra-putriya (berusia 6 – 18 tahun) dan para istrinya, baik di dalam keraton (di Gedong Jene) maupun di luar keraton di Pasanggrahan ndalem Ngeksi Gondo di Kaliurang.

Aktivitas memasak Sri Sultan itu dilakukan berkisar tahun 1956-1962, ketika ia menjabat sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta maupun saat menjabat sebagai menteri Ekuin, meski ia lebih sering tinggal di Jakarta. Namun, Sri Sultan, yang pernah pula menjabat sebagai wakil presiden era Soeharto itu tetap melanjutkan kegemarannya untuk memasak di keraton. Sebulan sekali dia pulang ke keraton dan mengumpulkan para istri serta putra-putrinya untuk memasak bersama dengan menu lombok kethok, sop buntut sapi, dan kue panekuk isi enten-enten (dibuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan gula Jawa yang telah dicairkan) (hlm. 58).

Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa buku ini ditulis selain sebagai sarana untuk memperlihatkan kekayaan kuliner keraton (terutama Yogyakarta) juga sebagai sarana pewarisan budaya berupa tata cara makan, memasak, dan menyajikan masakan tersebut, khususnya di lingkungan para bangsawan, yaitu kelompok elite masyarakat Yogya tempo dulu. Mengungkap tata cara ini sungguh mengasyikkan, karena ternyata tata cara tersebut dapat dipandang sebagai cara masyarakat memanfaatkan bahan pangan di sekitarnya berdasarkan kearifan lokal yang ada. Hal ini sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan hasil bumi setempat yang berujung pada ketahanan pangan masyarakat.

Selain itu, buku setebal 232 halaman ini semakin lengkap dan menarik disamping memberikan informasi seputar menu-menu makanan kesukaan para Raja, juga ditampilkan cara membuatnya. Membacanya, terasa komplit. Di dalamnya terdapat muatan sejarah, sekaligus pengetahuan tentang makanan-makanan khas keraton, yang mencakup menu makanan pembuka, makanan utama, lauk-pauk, kudapan, makanan penutup, dan minuman.

Di setiap menu-menu itu masih dirinci lagi ragam nama makanan dan minuman-minumannya. Jadi, dengan adanya buku mengenai resep masakan kegemaran para raja ini, diharapkan dapat menginsipirasi para pengusaha kuliner untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan usahanya. Selamat mencoba.
*Ali Usman, pecinta kuliner, tinggal di Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar