Memerdekakan Negara dari Kaum Saudagar


















Dipublikasikan di Harian Jogja, 20 Januari 2011
Judul : Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalissi
Penulis : I. Wibowo
Penerbit : Kanaisius
Cetakan : I, Agustus 2010
Tebal : 270 halaman

Masihkah kita membutuhkan negara? Pertanyaan ini barangkali memang tampak ekstrim. Namun sebenarnya tidaklah berlebihan bila kita memerhatikan fakta-fakta yang menjadi peran dan fungsi negara dewasa ini. Di saat banyak rakyat hidup dalam gelimangan kemiskinan yang akut, di manakah peran negara? Di saat pasar-pasar tradisional kian lesuh—untuk tidak mengatakan hampir punah—akibat penyingkiran oleh gedung-gedung tinggi mall, di manakah peran negara yang seharusnya melindungi secara aktif eksistensi pasar rakyat tersebut? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menggelisahkan seputar peran negara sebagai institusi formal yang memayungi rakyat, namun tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Membincangkan negara di zaman sekarang ini, meskipun berwujud, sesungguhnya nyaris lenyap, bila dilihat secara substansial dari aspek fungsi dan perannya. Hal ini dapat dilihat dari dahsyatnya arus globalisasi yang meninabobokkan negara. Negara telah cukup lama di(tidur)kan oleh aktivitas ekonomi global yang terus memeluk erat negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Itu sebabnya, negara dalam banyak kasus, tidak punya kuasa untuk sekadar memutuskan kebijakan-kebijakan pro-rakyat kecil, karena telah terkoptasi oleh kepentingan-kepentingan global, sehingga efek yang ditimbulkan sangat terasa bagi masyarakat luas, seperti kenaikan BBM, TDL, kebutuhan pokok rumah tangga, dan lain-lain.

Buku ini, menyediakan ruang diskurus yang sangat luas dan bermutu, tentang implikasi-implikasi globalisasi yang menghantam peran dan fungsi negara sebagai pengayom rakyat. Sejumlah teori-teori sosial politik banyak dihidangkan, misalnya pendapat Kenichi Omahe yang mengumandangkan kematian negara, dicetuskan dalam buku monumentalnya, The End of Nation-State; Thomas Friedman dalam The Lexus and The Olive Tree juga mengemukakan pendapat serupa dengan Kenichi, yang mengharuskan semua negara di dunia harus berpakaian sama: “the golden straitjacket”, yaitu negara harus menjalankan pasar bebas, membuka lebar-lebar pasarnya untuk produk-produk dari mana saja di dunia.

Itulah rumus dasar pasar bebas, yang menjadi juru kunci globalisasi untuk menembus benteng pertahanan perekonomian negara-negara. Padahal, bila suatu negara belum siap ikut bermain dalam pertarungan pasar bebas (Indonesia?), tentu menimbulkan efek negatif, yang salah satu indikasinya dapat dilihat pada semakin subur angkat kemiskinan. Pola operasionalnya, jika negara tidak mampu mengendalikan persaingan ini, secara nyata akan mematikan produk-produk lokal dalam negari, seperti yang terjadi di negara kita tercinta.

Pertanyaannya, bagaimana dengan nasionalisme? Jika menganut teori Kenichi dan Friedman, hal ini pun dianggap kuno, hanya relevan ketika negara-negara masih berjaya. Baik Kenichi maupun Friedman, keduanya berpendapat bahwa nasionalisme adalah penghambat dari kegiatan ekonomi yang kian mengglobal ini. Tidak mungkin atas nama nasionalisme membatasi keluar masuknya produk, atau keluar masuknya tenaga kerja, atau juga keluar masuknya modal. Orang tidak memakai produk karena paham nasionalisme, begitu pula orang tidak mempekerjakan seseorang karena memandang sikap nasionalismenya. Nasionalisme menurut kedua pemikir itu, telah berakhir, seiring dengan berakhirnya negara-bangsa (hlm. 3).

I. Wibowo, penulis buku ini, terlihat sangat berapi-api dalam mengurai persoalan demi persoalan (terutama menyangkut isu-isu perekonomian dan kemiskinan) yang mendera bangsa Indonesia. Semangat buku ini tampak bergelimang kritik konstruktif yang ditujukan tidak hanya kepada birokrat yang mengurus secara langsung negara, tapi juga kepada kaum intelektual dan ilmuwan.

Sampai hari ini, menurut I. Wibowo, negara tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman kaum saudagar internasional yang modusnya berwujud dalam bentuk kerjasama perekonomian maupun hubungan bilateral politik. Kondisi ini secara otomatis berimbas pula pada dilema aktor-aktor wakil rakyat di parlemen, apakah ia akan melayani konstituen mereka atau melayani kepentingan aktor-aktor global tadi, seperti IMF, World Bank, WTO ataupun CEO dari perusahaan multinasional.

Banyak negara tergoda dengan bujuk rayu globalisasi, seperti gagasan “global economic growth” dan ikut dalam pusaran kompetisi memperebutkan investor. Pemimpin-pemimpin negara diberitahu tentang teori “competitive advantage” kalau negara ingin mencapai pertumbuhan ekonomi, dan dengan demikian mempertahankan kursinya. Negara yang ingin maju dan menang mengalahkan negara lain, ia harus bersaing delam memberikan fasilitas kepada kapitalis-kapitalis global berupa potongan pajak, urusan birokrasi yang sederhana dan cepat, serikat buruh yang ditelikung, dan sebagainya (hlm. 52-53).

Karena itu, hipotesis yang diajukan sepanjang penulisan buku ini adalah bahwa negara—karena tuntutan para saudagar global—memilih untuk menjadi pelindung para saudagar global daripada saudagar pelindung warga negara. Negara memang tidak lenyap, negara juga telah menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah kehilangan ciri utamanya sebagai pemegang kedaulatan (sovereignty) dan membutuhkan keamanan (security). Ini merupakan public goods yang tidak ingin dipikul oleh pengusaha karena sifatnya yang non-excludable. Negaralah yang harus menyediakan keamanan.

Dengan mengembangkan teori Noorena Hertz dalam The Silent Takeover: Global Captalism and the death of Democracy (2001), I. Wibowo di buku ini mencetuskan istilah baru dan menarik: “negara centeng”, yaitu evolusi peran dan fungsi negara yang mulanya menjadi pelindung rakyat, berubah menjadi pelindung bayaran dari sekelompok kecil sudagar, nasional, maupun global. Yang dilakukan oleh negara adalah menyediakan keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa uang yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara. Ironis.
*Ali Usman, peminat studi sosial-politik, tinggal di Jogjakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar