Sisi Lain Kehidupan Musashi

Judul : The Secret History of the Lord of Musashi and Arrowroot
Penulis : Junichiro Tanizaki
Penerbit : Kantera
Cetakan : I, September 2010
Tebal : 305 halaman
Harga :

Musashi dikenal luas sebagai maestro samurai Jepang. Masyarakat pembaca Indonesia mengenalnya lewat mahakarya berjudul Musashi, yang ditulis sangat menawan oleh Eiji Yoshikawa. Sejak itulah, membaca sejarah Musashi dan samurainya, sungguh membuat terkesima atas perjuangan hidup yang ia kobarkan demi mengikuti jalan pedang.

Umumnya orang menerima bahwa Musashi hidup antara tahun 1584-1645. Jadi, menurut para pengkajinya, dia memang bukan tokoh fiktif. Dikisahkan, jalan pedang Musashi bukan sekadar mencari sasaran untuk mencoba kekutannya. Ia terus mengasah kemampuan, belajar dari alam dan mendisiplinkan diri untuk menjadi manusia sejati. Kesan ini terus menancap dalam kesadaran diri setiap pembacanya, terutama bagi masyarakat Jepang hingga masa kini.

Di luar itu, tersingkaplah ‘sejarah lain’ yang penting diungkap dan diketahui publik. Apa gerangan? Buku ini menceritakan kisah mengenai Musashi yang dilahirkan pada abad keenam belas, periode perang bersaudara, dan dikenal di seluruh penjuru negeri atas kecerdikan dan kekuatannya. Musashi adalah pemimpin paling berani pada masanya. Namun, menurut penelitian Junichiro Tanizaki, penulis buku ini, orang-orang yang dekat dengannya mengatakan bahwa dia memiliki hasrat seksual yang masokis. Kecenderungan seksual Musashi tidak pernah diceritakan dalam sejarah-sejarah resmi, dan sebagian besar orang tidak tahu apa-apa soal itu.

Mungkinkah semua itu benar adanya? Mulanya Junichiro Tanizaki tidak yakin harus memercayai kabar burung yang tidak biasa itu atau tidak. Dan karena rasa penasaran itulah, ia memulai penelitiannya dengan memeriksa dokumen rahasia milik keluarga Kiryu. Hasilnya, berupa buku ini yang dipublikasikan secara luas sejak tahun 1986 di Jepang.

Tentang kebenaran perilaku seksual masokis, Junichiro Tanizaki menampilkan beberapa kesaksian dari para tokoh yang hidup sezaman dengan Musashi. Salah satu kesaksian itu datang dari biksuni bernama Myokaku yang memberikan keterangan implisit, menggunakan bahasa metafor berikut.

“Setelah merenungkan tingkah laku daimyo (tuan tanah) Musashi, aku mendapatkan pemahaman bahwa manusia tidak bisa disebut baik maupun jahat, heroik maupun penakut. Orang-orang berkedudukan tinggi terkadang berbuat hina, para pemberani terkadang lemah juga. Orang yang kemarin menghancurkan seribu musuh dalam sebuah pertempuran, hari ini bisa saja ditaklukkan iblis-iblis neraka di rumahnya sendiri. … Jika ada pihak yang mencibir perilaku tuanku (Musashi), terkutuklah mereka” (hlm. 8).

Dari keterangan di atas, jelas tersimpul pertanyaan, untuk apa seorang biksuni yang tidak melakukan apa-apa selain berdoa kepada Buddha menulis sebuah memoar seperti itu? Yang pasti, itulah ‘sisi lain’ kehidupan Musashi, yang diharapkan menjadi pelengkap dari kisah legendarisnya. Junichiro Tanizaki mengingatkan kita untuk tidak buru-buru menilainya sebagai sebuah kisah yang janggal.

Sampai kapan pun, meski terdapat cerita kontroversial yang mengitarinya, Musashi tetaplah dikenang oleh para pengagumnya. Kisah samurainya laksana seekor harimau pemberani, dan sepanjang sejarah, hanya ada sedikit pria yang sanggup menyamai kemampuannya. Selamat membaca.
Peresensi, Ali usman, pecinta buku tinggal di Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar