Menghidupkan Kearifan Sufi

Judul : Terapi Asmaul Husna untuk Zaman Kita
Penulis : Neil Doughlas-Klots
Penerjemah : Agung Prihantoro
Penerbit : Serambi
Cetakan : I, Mei 2010
Tebal : 455 halaman

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, karena menjadi sufi, berarti mensucikan hati dan pikiran dari perkara duniawi. Sebab, kehidupan yang didominasi oleh syahwat duniawi—sementara aspek ukhrawi disingkirkan—dapat merongrong setiap insan berperilaku tidak manusiawi akibat keserakahan nafsu yang menguasainya.

Tidak heran, bila seorang sufi di abad-abad terdahulu, bahkan berani meninggalkan kehidupan duniawinya dan beralih secara total ke dunia spiritual. Namun belakangan, sikap “ekstrim” yang demikian itu rupanya sangat jarang dijumpai kembali. Yang ada, menjadi sufi di zaman modern, dituntut untuk memperlakukan kehidupan duniawi dan ukhrahi secara proporsional, seimbang dan tidak berat sebelah. Dan yang seperti ini, juga sebenarnya bukanlah perkara mudah untuk diamalkan.

Dalam konteks itulah, buku ini mendapat relevansi yang amat kuat dan nyata. Neil Douglas-Klots, penulisnya, menyajikan analisa yang amat mendalam terhadap asma’ al-husna (nama-nama indah Allah Swt). Nama-nama indah itu oleh Saadi Shakur Chishti, nama Islam Neil, didekati secara aktual, yaitu menafsirkan setiap ‘nama’, dalam bingkai kemodernan yang terasa sangat mengena bagi kehidupan kita sehari-hari.

Dengan cara itu, Neil sesungguhnya kembali menghidupkan tradisi tasawuf yang sudah berumur tua sekian abad lalu, dengan banyak pendekatan dan praktik. Dalam buku ini, Neil tidak lagi berkutat pada sejumlah teori yang mendaki-daki pikiran, tetapi ia beranjak langsung ke jantung persoalan dengan melakukan semacam injekasi kesadaran kepada pembaca, agar dengannya ia menjadi lebih baik lewat terapi asma’ al-husna, inti praktik kaum sufi sepanjang sejarah.

Artinya, buku ini mengajak pembaca mendalami pengalaman tasawuf yang hidup. Kehadiran buku ini, menurut Neil, serupa dengan kitab-kitab yang telah berusia ratusan tahun, yang dinamakan ‘kitab penuntun darwis, sebuah panduan hidup. Di dalamnya, tersajikan esai-esai atau renungan-renungan pendek, yang dibumbui dengan kisah-kisah dan puisi-puisi sufi. Setiap babnya berisikan tafakur (meditasi) dan saran-saran untuk mengeksploitasi jalan-jalan kalbu tingkat lanjut. Dalam pengertian yang lebih mendalam, buku ini memaparkan cara untuk mendekati hidup guna menguak siapa sesungguhnya diri kita, manusia yang sebenarnya (hlm. 23).

Namun sebagai sebuah catatan, buku setebal 455 halaman dalam bahasa Indonesia ini, berupaya untuk membuang sisi simplistik dari buku bergenre swatolong (self-help) dengan memaparkan pelbagai hal perihal tasawuf, termasuk keacakan, paradoks, dan praktik spiritual. Pembaca dapat menggunakan buku ini sebagai sumber kearifan, sesuai dengan situasi hidup Anda.

Neil mengingatkan, apa yang Anda temukan di buku ini, bisa jadi sesuatu yang mengejutkan atau malah menggangu pikiran Anda. Syuku-syukur, sesuatu yang ditemukan mencerahkan hidup Anda. Semoga. Selamat membaca.
Peresensi, Ali usman, pecinta buku tinggal di Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar