Simbiosis-Mutualistis Iman dan Nalar




Dipublikasikan di Gatra, 7-13 Januari 2010

Judul : Iman Melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas
Editor : Giancarlo Bosetti
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : 87 halaman

Tak terbayangkan, bagaimana ketika Joseph Ratzinger, orang nomor satu di kepausan gereja katolik bertemu dalam satu forum dengan Juergen Habermas, seorang filsuf terbesar di abad ini? Ratzinger menurut Giancarlo Bosetti juga sebenarnya dikenal sebagai filsuf dan kardinal sebelum ia menjadi Paus Benediktus XVI. Oleh buku ini, Ratzinger tentu saja mewakili “penyeru” kepada (ke)iman(an) umat. Sementara Habermas diposisikan sebagai filsuf dunia yang lebih mengedepankan nalar dan (ke)liberal(an).

Buku ini adalah hasil jejak rekam atas pertemuan dua tokoh dunia itu dalam acara debat publik yang diprakarsai oleh Akademi Katolik di Muenchen, Baviera, Jerman, pada Januari 2004. Sesuai dengan tema yang diangkat: “Apa yang Dimiliki Bersama oleh Dunia Ini? Dasar-dasar Moral Prapolitis dari Negara Liberal”, kedua tokoh tersebut menafsirkan sekaligus menganalisis pelbagai kemungkinan-kemungkinan atau lebih tepatnya masa depan agama di kehidupan modern.

Hasilnya, baik Ratzinger maupun Habermas membincangkan sebuah diskursus penting, yaitu peran agama di panggung dunia modern sekarang ini. Keduanya mempunyai konsep yang sama tentang pascasekular(isme). Dan persamaan konsep inilah, dengan konsekuensinya yang luas, yang ditekankan dalam buku tipis setebal 87 halaman—tapi kandungan isinya sungguh memiliki bobot pengetahuan yang dahsyat.

Bagi Ratzinger, nalar dan iman harus menyediakan tempat untuk berdialog. Nalar dan iman dapat saling belajar satu sama lain, yang satu berperan sebagai tapal batas bagi yang lain. Iman dan nalar perlu saling bertindak sebagai check and balance, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan rem jika terjadi ekses. Dalam hubungan ini, keduanya dapat saling memperkaya satu sama lain karena menjadi ekuatan komplementer.

Sedikit berbeda dengan Ratzinger, Habermas mengambil perspektif yang berbeda dengan meninjau permasalahan dari spektrum politik. Ia berangkat dari sebuah tesis, bahwa otonomi moral dan historis negara liberal itu menyatu dengan masyarakat sipil yang bersandar pada dasar-dasar prapolitis. Maka interaksi antara tradisi religius yang tersebar dalam masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi karenanya sangat mempengaruhi kelangsungan hidup negara liberal.

Habermas berpendapat bahwa lebih baik bersandar pada fakta empiris daripada masuk ke dalam teoi umum tentang hal ini: walaupun lingkungan semakin menjadi sekuler, agama masih tetap bertahan. Filsafat harus memperhatikan fakta ini secara serius bukan haya sebagai faktor sosial, tetapi juga sebagai tantangan kognitif. Wilayah perbatasan tentang apa yang diwartakan oleh agama dalam kehidupan sosial zaman ini merupakan wilayah yang masih perlu dikaji dalam dialog yang sungguh-sungguh (hlm. 18).

Pada aspek lain, pandangan Ratzinger tampak sangat moderat. Ini dapat dilihat ketika ia menyikapi peristiwa 11 September 2001. Peristiwa tersebut diinspirasikan oleh keyakinan religius yang membenarkan terorisme Islam untuk melawan masyarakat Barat. Tetapi menurut Ratzinger, mutlak perlu melakukan suatu refleksi universal tentang “fanatisme religius” dan bukan “fanatisme Islam” seperti yang mungkin diharapkan para pendukungnya.

Dia menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan yang muncul atas nama agama perlu disikapi dengan amat bijak, tidak hanya dengan menggunakan macam-macam pendekatan, tetapi juga dengan kesadaran penuh bahwa kedamaian tidak akan tecapai lewat pemusnahan pihak lain dari muka bumi ini melalui perkembangan “sangkar besi” weberian tentang ekonomi kapitalis.

Garis haluan yang direfleksikan oleh Ratzinger maupun Habermas, sepertinya, berpangkal dari sebuah tesis paradoks agama itu sendiri. Bahwa ber(agama) di kehidupan modern sungguh menjadi daya pikat yang tak terbantahkan. Kehadirannya tidak lagi dihujat dan dihindari secara sinis sebagimana yang pernah dilakukan oleh kaum ateis di awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan beberapa abad silam. Animo masyarakat yang menyambut posotif agama tersebut menguatkan pendapat Peter L. Berger (1991), yang menurut sosiolog humanistik itu sebagai kanopi suci (the secret canopy).

Agama, tulis Berger, ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan. Agama sebagai penyiram panasnaya kehidupan, yang dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dengan agama, manusia menjadi memiliki rasa damai, tempat bergantung, bahagia, dan memiliki ketenteraman hidup. Agama juga dapat melindungi manusia dari chaos, dari ketidakberartian hidup, dari situasi hidup tanpa arti.

Dari itu, secara ideal dan teoritis, pendapat Berger dapat dibenarkan, dan tak ada yang menyangkal kebenarannya. Namun dalam praktiknya, ketaatan beragama yang “berlebih” dalam dekade belakangan ini mulai diragukan, dikritik, dan diprotes oleh banyak kalangan. Hal itu terjadi lantaran beberapa peristiwa seperti konflik antara etnis, bom bunuh diri, dan tindak kekerasan, disinyalir bersumbu pada ketaatan yang sangat “ekstrim” dalam memahami doktrin-doktrin agamanya.

Maka tak salah bila kemodernan dalam wujud modernisasi menjadi kegalauan sekaligus kekaguman manusia modern. Tidak mengherankan jika kaum agamawan mulai mengoreksi kembali pola dan ajaran keagamaan yang dipraktikkan oleh umatnya. Karena tak jarang, sekali lagi, sejumlah tragedi kemanusiaan telah menjadi teror terhadap keberlangsungan hidup manusia di bumi dengan mengatasnamakan agama. Di sini, kemajuan teknologi seolah tak seirama dengan pemahaman umat beragama itu sendiri.

Akhirnya, keragaman pendapat yang ditemukan dalam dua pemikir besar itu sangatlah berarti untuk kehidupan modern. Buku ini sangat bermanfaat tidak hanya sebagai pengkayaan pengetahuan, tapi sebentuk “pernyataan sikap” oleh tokoh dunia yang pemikiran-pemikirnnya berpengaruh besar terhadap keberlangsung hidup hingga saat sekarang.

*Ali Usman, Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar