Membincangkan Fungsi dan Wewenang Wapres


Dipublikasikan di Harian Jogja, 26 Mei 2009
Judul : Wapres: Pendamping atau Pesaing? Peranan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Penulis : Roy B.B. Janis

Penerbit : BIP, Jakarta

Cetakan : I, 2008

Tebal : xix + 376 halaman

Tidak banyak yang tahu, kalau jabatan wakil presiden (wapres) dalam sistem ketatanegaraan ternyata (juga) mengandung diskursus intelektual, baik dari aspek peran, fungsi dan wewenangnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Sesuai dengan akal katanya, wapres mempunyai arti sebagai orang yang mempunyai hak dan kuasa untuk mengambil alih pemerintahan manakala presiden sedang berhalangan atau karena alasan lain yang dengannya, ia (baca: pemimpin) tidak dapat melakukannya sendiri. Maka, kata ‘wakil’ dalam istilah itu, berarti ‘pengganti’.

Sedangkan dari sudut pandang sistem ketatanegaraan, peran, fungsi, dan wewenang wapres telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2), yang menyebutkan, “Presiden di dalam menjalankan kewajibannya dibantu oleh seorang wakil presiden”. Pasal 8 juga menguatkan, “Apabila terjadi kemungkinan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu presiden sebelum masa jabatannya mangkat atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dalam hal seperti dikemukakan tersebut wakil presiden yang melanjutkannya sampai habis masa jabatannya”.

Yang perlu dicermati, kata ‘dibantu’ pada UUD 1945 pasal 4 ayat 2, oleh sejumlah kalangan menandakan bahwa presiden merupakan “the first man” dan wapres merupakan “the second man”. Wapres baru bisa tampil sebagai “the first man” apabila presiden berada dalam keadaan seperti disebutkan dalam pasal 8 UUD 1945. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya tafsiran politik dari sudut pandang ketatanegaraan UUD 1945 tersebut?

Buku ini, menyediakan ruang diskursus yang amat terbuka dalam mengkaji polemik dan implikasi politis terhadap ragam pemahaman seseorang, terutama menyangkut fungsi dan wewenang wapres itu. Meskipun buku ini merupakan hasil dari skripsi penulisnya, Roy B.B. Janis, yang ia tempuh semasa kuliah S1 Fakultas Hukum jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia tahun 1986, dengan judul “Kedudukan Tiga Wakil Presiden Menurut Hukum Tata Negara Indonesia”, namun pengembangan yang dilakukan pada setiap pembahasan tema dan tambahan tokoh-tokohnya, sungguh memberikan nuansa ilmiah dan daya intelektualitas yang sangat matang.

Dalam buku ini, Janis—yang sejak menjadi mahasiswa sebagai aktivis dan di tahun 1992 terpilih sebagai anggota MPR RI—memotret perjalanan penuh liku para tokoh bangsa yang pernah mengecap kursi wapres, dimulai dari zaman Dwitunggal Soekarno-Hatta, kemudian zaman orde baru berturut-turut yang menjadi wapres adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1983), Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try Sutrisno (1993-1998), dan B.J. Habibie (1998). Setelah itu di era reformasi ada Megawati dan Hamzah Haz, serta Jusuf Kalla yang dipilih langsung oleh rakyat lewat Pemilu tahun 2004.

Sebagai politisi dan fungsionaris aktif di salah satu partai besar sampai saat ini, Janis memang tampak menguasai seluk-beluk politik dan aturan perundang-undangan negara. Di setiap wapres yang dibahas, ia tiada henti-hentinya memberikan catatan kritis terhadap kinerja, dan termasuk pula persinggunganya dengan presiden. Misalnya, pada masa Dwitunggal Soekarno-Hatta, kedudukan wapres mempunyai ciri tersendiri dibandingkan dengan kedudukan wapres pada masa orde baru di bawah pimpinan presiden Soeharto. Malahan pada masa orde baru ada semacam ungkapan sinis terhadap kedudukan wapres, yaitu istilah “ban serep”. Seperti halnya ban serep, maka wapres baru akan berfungsi apabila ban yang sedang dipakai perlu diganti dan tidak berfungsi apabila tidak terjadi pergantian ban (hlm. 3).

Namun, pasangan presiden Soekarno dan wakilnya Hatta, mengalami pengecualian atas anggapan miring di atas. Keduanya oleh sejumlah sejarawan dan pengamat politik, dikatakan dapat menjalankan fungsi dan peran yang sama bobotnya. Bukti yang menguatkan pendapat ini adalah dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945. Sayangnya, pada 1 Desember 1956, Bung Hatta menyatakan mundur dari jabatan wapres disebabakan karena adanya perbedaan visi politik dengan Bung Karno sebagai presiden.

Sejak saat itu, sejarah mencatat, bahwa jabatan wapres tidak diisi oleh penggantinya hingga tahun 1973, yaitu saat terpilihnya Sri Sultan Hamengku Bowono IX menjadi wapres pertama di masa orde baru, mendampingi presiden Soeharto. Tetapi setelah lima tahun mendampingi Soeharto, pada hari-hari menjelang Sidang Umum MPR, Sri Sultan ternyata enggan dicalonkan kembali untuk mendampingi Soeharto. Alasan formal yang dikemukakan adalah soal kesehatan. Meski isu yang berkembang saat itu menyatakan bahwa Sri Sultan tidak lagi merasa cocok dengan cara-cara Soeharto memimpin, khusunya dalam menyelesaikan huru-hara peristiwa 15 Januari (Malari) 1974.

Apa yang dialami oleh wapres Sri Sultan Hamengku Bowono IX pada masa itu, ternyata juga menimpa wapres-wapres lain, dari Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan B.J. Habibie. Mereka, para wapres itu, mengeluhkan hal yang sama bahwa posisi wapres sesunguhnya berada dalam tekanan dan setting politik presiden Soeharto. Lalu, bagimana dengan nasib wapres pascareformasi?

Pola hubungan presiden dan wakilnya pascareformasi, terkait dengan fungsi dan wewenangnya di pemerintahan, mengalami pergeseran yang amat jauh berbeda bila dibandingkan dengan orde baru. Mereka, para wapres, baik Megawati, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla, sepintas tampak sebagai—meminjam istilah judul buku ini ‘pendamping’ atau ‘pesaing’ presiden. Bahkan dalam perjalanannya, Jusuf Kalla yang mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono sempat memunculkan kesan adanya “matahari kembar” dalam pemerintahan. Penampilan Kalla yang lebih energik dan cepat dalam mengambil keputusan dinilai sangat dominan dibanding presiden Yudhoyono.

Sadar akan hal itu, presiden Yudhoyono pernah berencana membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R), yang kemudian ditolak oleh Jusuf Kalla. Unit itu dipahami para pendukung Kalla akan mengurangi peran dan tugas wapres. Sikap tersebut kian mengesankan publik bahwa Jusuf Kalla adalah wapres yang posisinya terbilang kuat sepanjang sejarah Indonesia merdeka (hlm. 17). Apalagi, kini tersiar kabar kalau Kalla bakal maju menjadi capres pada Pemilu 2009, dan dengan begitu akan bersaing langsung dengan Yudhoyono. Inilah potret riil perkembangan demokrasi di Tanah Air yang terus tersemai dengan baik. Semoga.

*Ali Usman, aktivis sosial, tinggal di Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar