Bukan Cerita Biasa



Dipublikasikan di Media Indonesia, 6 Juni 2009

Judul : Cerita Kecil Saja
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Pengantar : Anton Sudiarja SJ
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : xvi + 131 halaman

Ada banyak perstiwa dan pengalaman hidup yang kita biarkan berlalu begitu saja. Tidak banyak yang mampu merenungi pengalaman-pengalaman berharga itu, walau sebenarnya setiap orang sebenarnya sangat bisa melakukannya. Kecenderunagan manusia selalu larut dalam kepongahan diri, sehingga terkadang melupakan apa yang telah kita terima, kita rasakan, dan apa yang telah pula kita miliki. Pernahkan Anda memikirkan mengapa daun-daun itu mengering dan berjatuhan bagai salju di musim kemarau? Apa yang bisa kita pikirkan saat fajar datang, dan manusia terbangun dari tidurnya? Sadarkan Anda bahwa dengan bergantinya waktu setiap hari itu semakin mengurangi usia kita hidup di dunia?

Ragam pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjelma kuat dalam buku ini. Stephie Kleden-Beetz, penulisnya, tampak benar-benar memeras otak dan membentang daya ingatnya, karena apa yang ia tulis dalam keseluruhan “cerita kecil” ini berdasarkan pengalaman pribadi, lewat perjumpannya dengan banyak orang dan peristiwa-peristiwa yang ia alami langsung, baik ketika sekian lama berada di Jerman maupun setelah kembalinya ke Tanah Air (Malang) tahun 1995.

Stephie meracik cerita-cerita itu dalam sebuah bahasa yang amat singkat, padat tapi nan bermakna. Ia merubah cerita remeh-temeh alias cerita yang oleh sebagian orang mungkin dianggap biasa, menjadi luar biasa. Ya, cerita dalam buku bersampul cantik dan anggun ini bukan(lah) cerita biasa. Di dalamnya sungguh menyimpan banyak hikmah yang dipenuhi dengan kearifan-kearifan hidup; tentang bagaimana kita bisa menghargai sesuatu di luar diri kita (the other), arti persahatan, kepemimpinan, merenungi setiap kejadian hidup, makna dan refleksi kitab suci, rendah hati, dan lain-lain.

Pada sebuah pencarian, misalnya, Stephie menulis: “Aku mencari jiwaku, tapi tak kutemukan jiwaku. Aku mencari Tuhan, tetapi Tuhan menghindar dariku. Ketika aku mencari sesamaku, aku malah menemukan ketiga-tiganya” (hlm. 3). Ungkapan ini tertera di akhir paragraf, ketika Stephie menceritakan tentang seseorang yang bernama Abou Ben Adhem melakukan “protes” terhadap malaikat karena hanya menuliskan nama-nama orang yang hanya mencintai Tuhan.

Dikisahkan lebih lanjut, Abou Ben mengusulkan kepada malaikat agar nama dirinya juga tercatat di sana, karena ia telah mengasihi sesama manusia. Singkat cerita, malaikat pun setuju dan menyanggupi usul Abou Ben. “Dan (sekarang), coba lihat nama siapa yang pertama? Aboe Ben Adhem!”, kata malaikat. Dalam konteks ini, Stephie—dengan caranya sendiri dalam menyampaikan ide tulisannya—hendak mendakwahkan kepada sidang pembaca bahwa bagi orang yang merasa diri beriman tidak cukup hanya melulu mencintai Tuhan, sementara mengasihi sesama umat manusia malah terabaikan.

Lain halnya dengan cerita tentang “ember bocor”. Di India, hiduplah seorang yang amat setia mengabdi kepada tuannya. Dharma namanya. Setiap hari dengan dua ember ia menuju mata air yang jernih. Sesudah mengisi kedua ember itu sampai penuh, ia letakkan sebatang kayu lentur yang kuat di bahunya, kemudian sebuah ember digantungnya di depan, dan yang satunya di belakang.

Ternyata ember yang di belakang itu bocor. Setiap kali tiba di rumah tuannya, si ember utuh dengan pongah melirik ke ember bocor sambil berkata, “syukurlah, tugasku beres. Air yang kubawa penuh sampai di rumah tuan kita”. Si ember bocor merasa terhina dengan sikap si ember utuh karena air yang dibawanya hanya tinggal sedikit. Tetapi ia diam saja. Penderitaan ini ia pendam sampai sekitar dua tahun lamanya.

Hingga sampailah pada suatu hari, si ember bocor itu bertanya kepada si pemikul air. Saya sudah lama merasa bersalah dan malu karena tugas saya membawa air tidak dapat saya penuhi dengan sempurna, sebab keadaan saya bocor. “Mengapa Anda tidak mengganti saya dengan ember baru saja?”, tanya si ember bocor. Jawab si pemikul air dengan tenang, “sabar. Sudahkan kau perhatikan jalan yang kita lewati? Di tepi jalan yang kita lalui, di situ tumbuh bunga aneka warna, yang saya tanam. Kalau tidak ada kamu, hai, si ember bocor, mustahil ada bunga-bunga indah menghiasi rumah tuan kita setiap hari” (hlm. 16-17).

Mengikuti alur cerita dalam buku ini memang sungguh mengasyikkan. Meskipun nama Stephie barangkali tergolong baru terdengar di telinga insan pembaca buku, tapi sebenarnya ia tidaklah awam dalam praktik tulis-menulis. Saudara (kakak) dari Ignas Kleden, seorang intelektual tersohor itu adalah bekas koresponden Deutsche Welle (radio nasional Jerman) dan seorang wartawan lepas. Dia juga giat menulis pada sejumlah media di Tanah Air saat berdiam di Jerman selama hampir dua dekade.

Terbitnya buku setebal 131 halaman ini tampaknya menjadi pintu pembuka yang baik di awal karir Stephie dalam menerbitkan karya-karya berbentuk buku. Sebab, sebagaimana yang tampak dalam buku ini, gaya tulis Stephie memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Gaya tulisan Stephie, kata Sudiarja dalam pengantarnya, mengajak untuk tidak menelan begitu saja apa yang ditulisnya, tetapi mengunyah dan merenungkannya. Inilah kenikmatan buku ini.

Dalam tulisan-tulisan pendek bernas tersebut, Stephie memperlihatkan pengetahuannya yang luas tidak saja dari bacaan dan pengalaman perjalannya, tetapi juga dari perjumpaan dan persahabatannya dengan banyak orang. Dia memeras semuanya itu dalam kata-kata yang dipilih dengan cernat dan disusun dengan piawai sehingga ia hanya menyajikan sari pati, yang berguna. Stephie juga melengkapi tulisannya dengan kutipan kata-kata atau kisah pendek dari orang-orang bijak, filsuf, seniman, sastrawan, dan ilmuwan yang terkenal (hlm. xiii).

Kehadiran buku ini nyaris tanpa cacat dan kritik. Walaupun penulisnya sesekali menyertakan beberapa ungkapan-ungkapan penting yang dicomot dari Al-Kitab—yang barangkali ia hendak menunjukkan dirinya sebagai penganut taat umat Kristiani—namun tidak mengurangi sedikitpun bobot isi kebenaran yang dikandungnya. Dan memang, dalam banyak hal, apa yang ditulis Stephi merupakan unsur-unsur kebenaran yang bersifat universal.

Akhirnya, saya hanya mau menyarankan, agar pembaca cukup menyediakan waktu luang sejenak saja. Tidak sampai tiga jam, saya yakin Anda akan mampu menuntaskan buku ini dalam samudera kata yang diukir Stephie. Inilah buku bertajuk Cerita Kecil Saja, yang sebenarnya bukan cerita biasa. Selamat membaca.

*Ali Usman, magister Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar