Tauladan Politik dari pak Walikota



Dipublikasikan di Malioboro Ekspress, Minggu III Februari 2009

Judul Buku : Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur
Penulis : Herry Zudianto
Penerbit : Impulse-Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : viii + 167 halaman




Jogja memang memiliki daya tarik tersendiri untuk selalu diperbincangkan publik. Bukan hanya lantaran kentalnya adat Jawa dan tradisi keraton yang melekat kuat di dalamnya, tetapi lebih dari itu, Jogja juga sampai saat ini dikenal dengan predikat city of tolerance. Masyarakatnya yang adem-ayem, rukun-sentosa, dan penuh kedamaian, konon, membuat kota gudeg ini banyak dijadikan “daerah percontohan” oleh kota-kota lain seantero nusantara.

Di samping itu, kota yang padanya disematkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan UU RI No. 22 tahun 1948 dan secara khusus dilegalisasi di dalam UU RI No. 3 tahun 1950 mempunyai keunikan tradisi dan budaya. Fenomena tarakhir misalnya menunjukkan, untuk memutuskan perkara yang dianggap penting oleh masyarakat Jogja—dalam hal ini menyangkut pro-kontra Sultan Hamengkubuwono X sebagai raja sekaligus gubernur DIY menjadi capres RI pada Pemilu 2009 nanti—harus melalui apa yang disebut “Pisowanan Ageng”, seperti yang terselenggara beberapa waktu lalu di Alun-alun Utara Jogjakarta.

Tak terbayangkan, pro-kontra apakah Sultan layak dan patut maju menjadi orang nomor wahid pada Pemilu mendatang tidak hanya memicu kontroversi di tingkat lokal masyarakat Jogja, tapi juga meluas secara nasional. Meski demikian, gejolak politik yang “diperagakan” oleh sebagian masyarakat Jogja, baik sebelum dan sesudah keputusan Sultan siap maju menjadi capres yang ia nyatakan pada “Pisowanan Ageng”, hingga saat ini aman terkendali.

Pertanyaannya adalah, mengapa hal itu terjadi? Selain karena memang kultur masyarakat Jogja yang secara “primordial” terbiasa dengan ragam pandangan atau perbedaan kelompok maupun individu sejak dahulu, lewat buku ini, tersingkap motif baru yaitu terletak pada manajemen kotanya yang sangat apik dikelola oleh pemeritah setempat, yang dalam hal ini dikomandoi oleh Wali Kota. Karena itulah, daya tarik buku setebal 167 halaman ini hemat saya, tidak bisa dilepaskan dari peran penulisnya oleh Herry Zudianto, Pak Wali Kota Jogjakarta sendiri.

Buku berjudul lengkap Kekuasaan sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur berisi catatan dan curahan hati Pak Herry selama dua periode (hingg saat ini) dalam memberikan kebijakan-kebijakan yang tepat dan humanis untuk sebuah kota yang “menganut” plus menjalankan paham “multikulturalisme”. Hal tersebut bisa ditengok pada struktur masyarakat Jogja, yang sebelumnya secara kultural relatif homogen, secara bertahap berkembang menjadi semakin heterogen, semakin multikultural. Fenomena semacam ini sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan. Kota manapun, tidak akan pernah steril dari berbagai pengaruh luar, terutama dari kecenderungan besar pada tingkat nasional, bahkan internasional.

Karena itu, ada satu hal penting yang menarik diungkap dari buku ini lewat kepemimpinan pak Herry—yang barangkali menjadi tauladan politik untuk kita semua. Diakui oleh Pak Herry, salah satu sumbangan terbesar dan terpenting dari pengalaman multikultur sejak ia masa kanak-kanak hingga dewasa, baik terhadap gaya kepemimpinan maupun spiritualitas yang mengilhami kepemimpinan dirinya di kota gudeg, nampak dalam cara memandang dan memperlakukan kekuasaan. Menurutnya, sejak terpilih sebagai Wali Kota Jogjakarta, ada tiga prinsip utama yang dipegang sebagai pedoman pengambilan keputusan dalam kebijakan politik, yakni hakikat kekuasaan, etika komunikasi politik, dan dimensi keadilan (lihat hlm. 35-40). Ketiga hal itu oleh bapak tiga anak itu sebagai prisip etika kepemimpinannya.

Pertama, hakikat kekuasan dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kesadaran individu untuk mengetahui hakikat, maksud dan tujuan dari kekuasaan. Bagi Pak Herry, sejak ia terpilih Wali Kota, terbersit dalam benaknya agar benar-benar merasa memiliki dan dimiliki oleh semua pihak. Tokoh politik yang sebelumnya sebagai salah satu pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) itu sampai pada kesimpulan bahwa seorang kader partai ketika diusung ke kursi eksekutif, maka filosofi yang harus dipegang adalah kader partai itu sudah diwakafkan untuk kemaslahatan orang banyak.

Kedua, etika komunikasi politik artinya kepekaan sosial oleh setiap pemimpin dalam mendengar aspirasi yang masuk dari yang dipimpin (rakyat). Seorang pemimpin harus belajar mendengar berbagai pendapat dari banyak pihak. Dengan lebih banyak mendengar, dimungkinkan bisa lebih jernih melihat persoalan dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Namun dengan tetap satu catatan penting, yaitu pemimpin juga harus memiliki prinsip sendiri dan keberanian untuk mengambil keputusan secara mandiri.

Ketiga, dimensi keadilan menjadi hal penting dan krusial untuk ditegakkan. Walaupun di mata manusia tidak ada yang tahu secara pasti tentang kriteria dan takaran keadilan karena problem relativitas di antara lapisan masyarakat, tapi setidaknya, seorang pemimpin dengan mendengar berbagai aspirasi—sebagaimana dipaparkan pada poin ketiga tadi—pendapat dan kepentingan dari berbagai pihak merupakan salah satu metode atau cara ampuh untuk mengeliminasi, atau setidaknya meminimalisir kemungkinan terjadinya keputusan yang tidak adil, keputusan yang hanya memuaskan dan menyenangkan satu pihak tetapi merugikan dan menyusahkan pihak lain.

Akhirnya, apa yang telah diuraikan di atas tentu saja memiliki relevansi kuat dengan problem kepemimpinan di setiap kota, dan terlebih mungkin di tingkat negara. Sebab, masyarakat multikultural atau keberagaman (kelompok) masyarakat di setiap kota pada dasarnya sama. Semoga.

*Ali Usman, pencinta buku, dan belajar filsafat di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar