Samurai, Simbol Keperkasaan Jepang

Dipublikasikan di Koran Jakarta, 24 Juli 2010

Judul : The Heike Story: Kisah Epik Jepang Abad Ke-12
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Zahir Books
Tahun : I, Juni 2010
Tebal : 750 halaman


Jepang dan samurai adalah satu entitas sekaligus identitas diri yang tak terpisahkan. Cerita-cerita kolosal penuh hikmah selalu mengiringi setiap kali membincangkan negara yang dijuliki sebagai matahari terbit itu.

Samurai merupakan lambang keberanian dan keperkasaan rakyatnya, yang dalam perjalanan sejarah negerinya, konon, menjadi senjata ampuh untuk menebas batang leher saat berperang.

Itu sebabnya, negara Jepang sesungguhnya dibangun lewat peradaban penuh darah. Salah satu bukti sejarah itu dapat ditelisik pada kehadiran buku The Heike Story ini.

Debut Eiji Yoshikawa, penulisnya, tak dapat diragukan lagi. Kredibilitas dan kemampuannya dalam meracik muatan sejarah dengan nilai sastra yang teramat tinggi melahirkan sebuah adikarya yang mengagumkan.

Karya ini semakin meyakinkan publik bahwa Eiji memang penulis hebat yang memunyai spesialisasi penulisan bergenre perang samurai di Jepang sebagaimana ia pernah pula menulis buku tebal berjudul Musashi.

Dalam buku ini, Eiji menceritakan sosok pemuda gagah pemberani bernama Heita Kiyomori, seorang panglima perang klan Heiké. Kiyomori adalah anak dari Tadamori, pejuang samurai istana.

Sebagai kepala keluarga, Tadamori dikenal pemalas dan tidak pernah acuh dengan kemiskinan yang menimpa keluarga mereka. Sementara istrinya (ibu Kiyomori) seorang keturunan bangsawan klan Fujiwara.

Pertengkaran suami-istri itu pun kerap disaksikan langsung oleh Kiyomori sejak masih usia muda. Dan memang, ibu Kiyomori dikenal sangat cerewet, judes, yang menurut Tadamori (suami dan ayah Kiyomori), seperti “kertas minyak terbakar”.

Ibu Kiyomori bahkan sampai menyesali keadaan dirinya memunyai suami pemalas, dan menyesali memunyai beberapa anak darinya, termasuk Kiyomori. Namun, tak pernah disangka kalau ternyata Kiyomori-lah di kemudian hari menjadi penakluk klan Fujiwara, yang waktu itu menjadi penguasa.

Kriminalitas, gejolak, dan kemarahan masyarakat marak di ibu kota sejak awal abad kedua belas. Klan Fujiwara, yang sudah tidak memiliki wewenang kecuali yang bisa mereka rebut secara paksa, berniat menarik dukungan dari klan Heiké dan Genji.

Pada pertengahan abad itu, sebuah pertikaian militer besar-besaran terjadi, dan klan Heiké, di bawah panglima muda mereka, Kiyomori, mengakhiri dominasi klan Fujiwara sekaligus menjatuhkan saingan mereka, klan Genji.

Sayangnya, kendati Heiké telah menggantikan Fujiwara, sama seperti pendahulunya, Kiyomori gagal merumuskan sebuah sistem pemerintahan dan perundang-undangan baru.

Hal itu berujung perebutan kekuasaan antara Heiké dan Genji, yang pada seperempat abad terakhir, Heiké bertekuk lutut di hadapan Genji.

Kejayaan Genji juga tidak bertahan lama ataupun berhasil meredam gejolak yang terjadi di seluruh Jepang karena pada awal 1300-an klan Genji ditumbangkan dalam sebuah pertikaian yang terjadi di dalam tubuh mereka sendiri.

Dan sementara semua itu terjadi, kaisar dan para bangsawan berupaya merebut kekuasaan dari klan-klan samurai yang senantiasa saling berseberangan.

*Ali Usman, kolektor dan pencinta buku Jepang, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar