Soros, Sang Investor Ulung Dunia






















Dilansir dari Jurnas, Mei 2010

Judul : Selalu Membaca Pasar dan Menang

Penulis : George Soros

Penerjemah : Yelvi Andri

Penerbit : Daras Books

Cetakan : I, November 2009

Tebal : 348 halaman


Banyak orang tahu, bahwa George Soros adalah seorang investor dan spekulator paling sukses di bidang finansial sepanjang zaman modern sekarang ini. Itu benar, dan tidak ada yang mengingkari fakta tersebut. Tetapi bagaimana Soros membangun kesuksesannya itu—dari awal mula meniti karir hingga mencapai puncak kejayaan—tidaklah banyak orang yang tahu.

Dalam buku ini, dijelaskan secara terang-benderang bagaimana Soros berjuang ‘mati-matian’ untuk memperoleh penghidupan yang layak, karena dirinya hidup pada masa kekerasan Nazi dan pendudukan Soviet. Itu sebabnya, untuk menghindari situasi yang dapat membahayakan dirinya, ia memutuskan hijrah ke Inggris, yang waktu itu masih berusi 17 tahun. Dan di sanalah, Soros menimba ilmu sekaligus memulai pengalamannya di dunia bisnis.

Buku ini semacam otobiografi—atau Soros menyebutnya sebagai ‘kompendium’ dari karya hidupnya—yang berisi kisah hidup dari masa ia kecil yang tertatih-tatih mencari penghidupan, hingga sukses menjadi tokoh dunia yang layak diapresiasi dan diperhitungkan, terutama di pentas dunia ekonomi dan perbankan.

Menurut pengakuan Soros, asal-muasal buku ini adalah wawancara mendalam yang dilakukan oleh Krisztina Koenen, seorang wartawan yang bekerja untuk Frankfurter Allgemeine Zeitung dan diterbitkan di Jerman. Dua koleganya, bernama John Wiley dan Sons berinisiatif menerbitkan terjemahan bahasa Inggrisnya, tapi oleh Soros dicegah, karena ia ingin merombaknya menjadi versi yang sepenuhnya baru. Lalu Soros mengumpulkan hasil wawancara yang lain, sehingga jadilah tiga bagian atau bab dalam buku ini.

Bagian pertama berkenaan dengan latar belakang pribadi dan karir Soros sebagai manajer dana, dalam wawancara yang dilakukan oleh Byron Wien, ahli strategi investasi untuk Morgan Stanley. Bagian kedua membahas pandangan politik dan sikap kedermawanannnya, dalam wawancara bersama Krisztina Koenen. Dan pada bagian terakhir, berisi filsafat yang memandu karirnya, baik dalam menghasilkan maupun membelanjakan uang, dan diwawancarai kembali oleh Byron Wien.

Lewat petikan-petikan wawancara itulah, kita dapat mengetahui di balik kesuksesan sang investor dan spekulator ulung tersebut. Ia menceritakan beberapa hal yang tidak banyak diketahui kebanyak orang. Dimulai dari masa kecilnya, yang begitu mencintai orangtua, dan menganggapnya sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam karir hidupnya. Tetapi kakak laki-lakinya menjadi pengecualian yang menurut Soros, seringkali mengolok-olok dan bahkan memukul dirinya sewaktu kecil.

Ketika Byron Wien menanyakan: “Adakah orang lain yang punya pengaruh pada Anda”? Soros menyebut nama Karl Poper, seorang filsuf besar abad ke-20, meskipun ia sadar, bahwa Popper bukanlah guru regulernya di London Schoool of Economics, sewaktu ia menyelesaikan kuliah sarjana. Soros merasa sangat dipengaruhi oleh filsafatnya, terutama ide Popper tentang metode ilmiah. Buku Popper, Open Society and Its Enemies, yang menurut pengakuannya, menggugah dengan kekuatan bagai ‘wahyu’—memperlihatkan banyaknya kesamaan fasisme dan komunisme, dan keduanya berseberangan dengan prinsip organisasi sosial yang berbeda, prinsip masyarakat terbuka.

Sebagaimana ditunjukkan dalam buku ini, Soros selalu mengenang pertemuan-pertemuannya yang sangat mengesankan bersama Popper. Terlebih, ketika ia menulis esai filsafat, The Burden of Consciousness, yang banyak mengadaptasi ide-idenya, sekitar tahun 1962, Soros mengirimkan esai itu kepada Popper, dan hasilnya, ia mendapat respons yang amat antusias, sehingga ia berkesempatan untuk bertemu empat mata bersama sang filsuf.

Tetapi apa yang terjadi setelah keduanya bertemu? Soros kembali mengenang. Di depan lift, saya memperkenalkan diri, dan ia (Popper) memandangi sejenak dan berkata, “Tapi kau bukan orang Amerika!” dan saya berkata, “bukan”. Ia bilang, “Itu sangat mengecewakan, dan saya (akan) jelaskan sebabnya. Waktu saya baca risalahmu, saya merasa akhirnya ada orang Amerika yang paham ajaran saya tentang masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup. Itu artinya saya berhasil mengomunikasikan ide saya. Tapi kau rupanya yang mengalami itu semua, karena itu kau tidak masuk hitungan dan saya kecewa”. Tapi ia masih sangat menyokong dan mendorong saya untuk terus maju (hlm. 46).

Meskipun sikap Popper tersebut telihat sentimentil, namun bagi Soros tidak menjadi persoalan, dan justru baginya, memberikan motivasi untuk terus berjuang dan tidak menyurutkan langkah dalam menggapai impiannya sebagai seorang pelaku bisnis kelas dunia. Karenanya, bagi Soros, pengaruh Popper sebenarnya bukan pada pribadi atau orangnya, tapi lebih pada ide-idenya. Bahkan, kekaguman Soros terhadap apa yang disebut Popper sebagai ‘masyarakat terbuka’ (open society), ia dengan sangat gencar mempopulerkan sekaligus kampanye akan pentingnya sebuah masyarakat yang tidak diskriminatif, saling menghargai walau berbeda kulit atau ras, dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua kalangan. Di samping itu, ia juga mendirikan yayasan yang diberi nama Open Society Foundation.

Perjalanan karir Soros sesungguhnya tidak dibangun dalam suatu kondisi yang linear. Ia telah melewati kondisi-kondisi apa yang disebutnya, ‘titik terendah’, ketika misalnya, ia pernah menjadi wiraniaga keliling menjual kepada pengecer-pengecer di resor pinggir laut Wales. Pengalaman lain, ia pernah menyebar surat lamaran kepada semua bank investasi di London. Hasilnya, karena sentimen agama (ke-Yahudi-annya) dan ras, di antara puluhan bank investasi, hanya satu bank yang berkenan menerimanya sebagai pegawai. Dan itupun, karena direkturnya orang Hongaria (satu rumpun dengan Soros). Menurut Soros, inilah yang oleh direktur bank di Lazard Freres (yang pernah menolak Soros bekerja), ketika memberi nasehat kepadanya, disebut sebagai “nepotisme cerdas”.

Akhirnya, daya tarik buku ini tidak hanya terletak pada kandungan isi, tapi juga soal metode penulisannya. Meskipun pada mulanya merupakan hasil sejumlah wawancara, tapi oleh Soros dipoles sedemikian rupa, seperti dialog Socrates, sehingga tetap menarik dibaca oleh semua kalangan.

*Ali Usman, aktivis sosial, dan Magister Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar