Kritik atas Hegemoni Pengetahuan Orientalisme



Dipublikasikan di Seputar Indonesia, 27 September 2008

Judul Buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas: Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme

Judul asli : Orientalism, Postmodernism and Globalism

Penulis : Bryan S. Turner

Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta

Cetakan : I, Agustus 2008

Tebal : 402 halaman



Wacana orientalisme memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau sebagai jaringan pelbagai kepentingan dan makna yang bersifat intertekstual yang diimplikasikan dalam pelbagai konteks sosial, politik dan konstitusional dari hegemoni kolonial. Pelbagai gambaran mengenai Timur yang mistis, aneh, tidak beradab dan barbar, Barat terus mengkonstruksi sebuah wacana yang menempatkan Timur sebagai inferior dan Barat sebagai superior.

Dengan cara ini, Barat tidak hanya ingin mendominasi dunia non-Barat melalui imperialisme secara politik dan militer, tetapi—setelah bangsa-bangsa terjajah non-Barat memperoleh kemerdekaannya—Barat juga ingin menjajah non-Barat melalui konstruksi wacana yang dianggap absah dan representtif untuk menggambarkan dunia non-Barat. Kondisi itu juga diperparah dengan massifnya perkembangan kapitalisme dan modernisme kebudayaan yang telah menimbulkan keruntuhan besar dalam keyakinan dan komitmen agama.

Sementara itu, muncul juga wacana postkolonial yang berupaya menganalisis bagaimana kenyataan historis tentang kolonialisme Eropa terus membentuk hubungan antara Barat dan non-Barat setelah negara-negara bekas koloni telah memperoleh kemerdekaannya. Postkolonialisme, dengan demikian menurut Richard King (1999), menggambarkan proses resistensi dan rekonstruksi yang terus berlanjut yang dilakukan oleh non-Barat. Oleh karenanya, teori postkolonial mengeksplorasi pelbagai pengalaman tentang penindasan, resistensi, ras, gender, representasi, perbedaan, pengusiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana dominan Barat tentang sejarah, filsafat, sains, dan linguistik.

Dalam konteks itulah, buku ini dapat ditempatkan sebagai sebuah gugatan penuh keberanian dan kejujuran terhadap Barat, yang dilontarkan oleh orang Barat sendiri. Bryan S. Turner, penulisnya, menguji perdebatan mutaakhir mengenai orientalisme sehubungan dengan postmodernisme dan proses globalisasi. Ia memberikan kritik tajam terhadap figur terkemuka dalam orientalisme klasik.

Buku ini juga mempertimbangkan dampak globalisasi pada Islam, sifat kajian Timur dan kolonialisasi, dan gagasan dunia dalam dunia sosiologi. Perubahan budaya dan perdebatan sosial ini merefleksikan perubahan penting pada status posisi intelektual dalam kebudayaan modern yang terancam, bukan hanya oleh penyamarataan massa, melainkan juga oleh kesempatan baru yang dihadapkan oleh postmodernisme.

Pada abad ke-20 kita sudah melihat bahwa Islam, yang dianggap menjadi representasi agama Timur oleh Barat, terus menjadi kekuatan dominan dalam politik dan kebudayaan, bukan hanya di masyarakat Timur melainkan juga di Barat. Kekuatan Islam menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai sifat kebudayaan modern. Pada saat yang sama, diselenggarakan banyak diskusi mengenai yang sering disebut postmodernisme kebudayaan, yang mengingatkan runtuhnya kebudayaan tinggi, pluralisasi gaya hidup, perayaan perbedaan budaya dan tekanan baru pada konsumerisme dan simulasi, parodi dan ironi.

Lalu apa hubugan antara kekuatan-kekuatan itu? Menurut Turner, dalam kancal intelektual, ada kritisisme besar terhdap duapuluh tahun terakhir orientalisme, yaitu kerangka kerja akademis yang meniadakan dan menolak signifikansi kebudayaan non-Barat, yang melihat kebudayaan itu sebagai kekurangan beberapa ciri dasar modernisasi rasional.

Karenanya, tak hera bila pada halaman-halam berikutnya di buku ini, Turner tampak tiada ragu lagi menyanjung dan mengakui kekuatan Islam. Bagi Turner, dalam kategori “agama-agama lain” (other religion), Islam setidaknya memiliki dua ciri pokok istimewa. Pertama, sebagai agama profetik yang monoteistik. Islam secara historis dan teologis memiliki ikatan yang sangat erat dengan Kristen. Bersama Kristen dan Yahudi, Islam dapat dipandang sebagai salah satu varian utama keimanan Abrahamik. Kedua, tidak seperti agama-agama Timur yang lain, Islam merupakan kekuatan kolonial utama di Eropa, dan sejak abad ke-8 dan seterusnya menjadi kebudayaan dominan dalam masyarakat-masyarakat Mediterania Selatan (hlm. 81).

Dua ciri istimewa Islam yang diakui Turner tersebut memunculkan pertanyaan, dalam hal apakah Islam merupakan “agama Timur”? Pertanyaan yang seolah-olah sederhana ini sebenarnya menusuk ke pusat persoalan orientalisme. Jika orientalisme mengalamatkan dirinya kepada persoalan-persoalan tentang apa sebenarnya dunia Timur, maka orientalisme akhirnya juga dipaksa untuk mendefinisikan esensi oksidentalisme itu sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa orientalisme sebagai sistem keilmuan pertama kali muncul abad ke-14 awal yang disponsori oleh Konsul Gereja Vienna pada sejumlah universitas untuk mempromosikan pemahaman bahasa dan kebudayaan timur. Kekuatan pendorong utama pada orientalisme berasal dari perdagangan, persaingan antar agama dan konflik militer. Karena itu, pengetahuan Timur tak bisa dipisahkan dari sejarah ekspansi Eropa ke Timur Tengah dan Asia.

Hingga pada akhirnya, utuk mengatasi problem itu, Turner mengambil pandangan kritis terhadap peran sosiologi dalam perkembangan ini dan mengajukan pertanyaan penting mengenai peran global intelektual Inggris sebagai stratum sosial. Kemampuan Turner mengkombinasikan diskusi mengenai agama, politik, kebudayaan, dan intelektualisme secara nyata menggambarkan integrasi analisa dirinya, yang amat jarang dimiliki oleh pemikir-pemikir lain. Selamat membaca!

*Ali Usman, pengkaji sosilogi dan filsafat, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar