Kasih maria dan Petaka Kehidupan Modern



Judul Buku  : Perempuan dan Naga: Penampakan-penampakan Maria

Judul asli : The Woman and the Dragon Apparations of Mary

Penulis : David Michael Lindsey

Penerjemah : L. Prasetya Pr.

Penerbit  : Kanisius, Yogyakarta

Cetakan  : I, November 2007

Tebal   : 559 halaman

 


Dipublikasikan di www.jurnalnet.com, 19 Januari 2008

Kehidupan di dunia selalu menampilkan dua wajah yang timbal-balik; ada baik-jahat, terang-gelap, baik-buruk, dan lain sebagainya. Tidak seperti kehidupan di surga sana, yang konon menurut doktrin agama, hanya berwajah tunggal dan linear. Semuanya bernafaskan sesuatu yang baik. Tak ada kejahatan dan dosa di surga.

Karenanya, setiap manusia yang beragama dipastikan mengidamkan hal yang sama: surga. Surga yang dijanjikan Tuhan adalah kehidupan kelak, kehidupan “kedua” setelah di dunia. Setelah kita melalui kematian. Lalu bagaimana dalam kehidupan nyata, di dunia sekarang ini?

Itulah problemnya. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang gigih untuk meraih kenikmatan surga. Tentu saja, kehidupan di dunia tidaklah sama dengan yang dijanjikan di surga. Dunia yang kita tempati saat ini penuh dengan jebakan-jebakan yang bisa jadi akan menjebloskan manusia ke neraka—tempat yang juga di janjikan Tuhan bagi pengampu dosa.

Dengan adanya surga dan neraka, Tuhan pun sebenarnya mencipta klasifikasi dan dikotomi yang “beroposisi biner”. Itu sebabnya, di samping mencipta manusia sebagai makhluk yang paling baik dan sempurna di antara makhluk-makhluknya yang lain, Tuhan juga mencipta satan (setan) yang diidentikkan dengan kejahatan. Kebaikan dan kesempurnaan manusia akan ternodai manakala tak tahan dengan godaan satan.

Tepat di aras pemikiran seperti itulah, keseluruhan buku setebal 559 halaman ini ditempatkan. Kata ‘perempuan’ dalam judul buku, dinisbatkan pada bunda Maria yang dalam tradisi Kristen dikenal sebagai ‘Perawan Yang Terberkati’ dan membawa kebaikan. Sementara kata ‘naga’ merupakan simbol kejahatan (satan) yang dilawankan dengan ajaran-ajaran yang dibawa bunda Maria.

Buku Perempuan dan Naga: Penampakan-Penampakan Maria merupakan catatan-catatan historis mendalam tentang penampakan-penampakan Maria dan peretempuran terus-menerus antara surga dan neraka, dengan tekanan utama pada peranan unik Maria sebagai duta istimewa Allah kepada dunia. Generasi sekarang, Menurut David Michael Lindsey, penulis buku ini, adalah generasi jahat seperti diperingatkan Yesus dalam Injil, generasi “akhir zaman” ketika tanda-tanda dan hal-hal yang menakjubkan terpenuhi pada saat Kedatangan Yesus yang kedua. Di mana-mana kita melihat catatan-catatan cuaca dihancurkan.

Buku ini meski bercorak Kristiani, hemat saya, cocok dan tak rugi bila juga dibaca umat lain di tengah-tengah kondisi dunia yang tak lagi kondusif untuk hidup. Dunia saat ini didominasi oleh kejahatan daripada kebaikan, yang diperbuat oleh manusia itu sendiri. Seolah-olah bumilah yang berusaha memperingatkan kita agar Pencipta menghukum bangsa manusia karena pelanggaran yang tak terkira banyaknya. Menurut beberapa penglihat yang disebutkan dalam buku ini, jika bukan karena Perawan Maria Yang Terberkati, yang mengendalikan murka Allah, dunia akan dihukum dalam jangka waktu yang lama.

Berkali-kali, tulis David, Allah mengutus bunda Maria ke dunia memperingatkan manusia bahwa Dia akan menghukum dunia. Jika mungkin, Kristus akan turun kembali dari surga dan wafat di kayu salib lagi. Tetapi Bapa tidak membiarkan Dia, maka sebagai penggantinya Allah mengutus bunda-Nya. Maria adalah peringatan terakhir bagi dunia (hlm 18).

Sebagai pembaca muslim, saya coba mencari dan menerka-nerka ajaran yang menjadi isi di dalam buku ini ke dalam agama yang saya anut, Islam. Dalam pandangan saya, setidaknya ada dua hal penting yang menarik dari keseluruhan buku ini bila “disandingkan” dengan tradisi Islam.

Pertama, penampakan-penampakan seorang yang dianggap suci (baca: wali), dan bahkan Tuhan sekalipun termanisfestasi (tajalli) melalui ciptaan-ciptaan-Nya di dunia. Pandangan ini biasanya banyak ditemukan dalam ajaran-ajaran kaum sufi atau dunia tasawuf.

Kedua, bunda Maria dalam tradisi Kristen diyakini sebagai manusia suci dan bebas dari dosa lantaran mendapat berkat dan rahmat dari Bapa Kekal. Ini serupa dengan keyakinan umat Islam yang berkeyakinan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paling sempurna di antara manusia-manusia lain, dan juga dibebaskan dari dosa (ma’sum) oleh Tuhan.

Dengan ini, bukan berarti saya hendak menyamakan antara Nabi Muhammad dan bunda Maria yang nantinya akan berujung pada “relativisme absolut”. Tetapi lebih merupakan mencari titik temu ajaran antar-agama, sehingga tercipta keharmonisan dan perdamanan di dunia.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan dalam buku ini, yaitu pesan Maria adalah pesan kenabian. David selalu mengingatkan kepada pembaca, bahwa kisah atau catatan-cacatan historis ini bukanlah berdasarkan pada mitos yang kebenarannya masih diragukan, tetapi berdasarkan doktrin agama yang ia gali dari Wahyu 12: 1.

Namun sangat disayangkan, tokoh Katolik konservatif ini seolah tak memberikan ruang dialogis kepada pembaca. Pendiriannya tentang apa yang ia yakini bercorak “otoriter” dan anti-dialogis. Ia menulis, “jika Anda mencari buku yang tidak konfrontasional, zaman baru (new-age) Maria yang tidak ada, buku ini bukan untuk Anda. Saya tidak menulis buku ini untuk menggelitik telinga orang. Jika Anda merasa bahwa Anda harus mengkritisi ungkapan iman Katolik saya, anda berhak…” (hlm 21).

Padahal, setiap orang yang beragama dengan taat, mestinya merasakan kegelisahan iman seperti yang dirasakan oleh Santo Augustinus, seorang mistikus Kristen abad pertengahan. Dalam karyanya yang sangat fenomenal, Confessions-nya, ia berusaha mati-matian mencari Tuhan dan keotentikan imannya.

Di dalamnya kita menemukan pengembaraan tanpa henti Augustinus yang terus bertanya kepada langit dan bumi, kepada binatang dan tumbuhan, bahkan kepada dirinya sendiri, pada relung-relung ingatannya yang sangat rahasia. Apa yang sebenarnya aku cintai ketika aku mencintai Dikau, Tuhanku (Quid ergo amo, cum Deum meum amo)? Tetapi siapakah Engkau, Tuhanku? Bagaimana dan di mana aku harus mencari Engkau, ya Tuhanku?

Andai buku ini bisa menjawab rentetan pertanyaan yang menghujam dan “maha-pelik” ini.

* Ali Usman, pemerhati sosial lintas agama-budaya, dan alumnus program Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar