Filsafat Politik dalam Realitas Indonesia

Dilansir dari Gatra, 15-21 Desember 2011
Judul : Berfilsafat Politik
Penulis : E. Armada Riyanto
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, September 2011
Tebal : 216 halaman

Realitas politik nasional menunjukkan pada proses pendangkalan dan miskin makna. Kehidupan politik seolah terwakili dengan perdebatan pasal dan undang-undang di parlemen, padahal berbicara politik, sesungguhnya mencakup pula kehidupan manusia di luar struktur pemerintahan. Konstruksi pemikiran ini jelas secara nyata akan berakibat pada proses pengambilan kebijakan.

Karena itu, makna politik menurut E. Armada Riyanto, penulis buku ini, telah mengalami “reduksifasi”. Politik yang memiliki cakupan kedalaman pengalaman hidup manusia secara menyeluruh tereduksifasi pada nama-nama pribadi yang populer entah karena jabatan (exofficio), entah keterlibatannya pada perkara hukum maupun karena lontaran-lontaran kata atau istilah aneh semacam “cicak-buaya”, “markus” (makelar kasus), cukong peradilan, dan lain sebagainya.

Dalam ranah filsafat politik reduksifasi menjadi cetusan konkret kenaifan. Sebab reduksifasi adalah sebuah kesempitan cara berpikir. Dalam reduksifasi, perkara politik dikamuflase oleh kepentingan sempit dan dinamikanya berubah menjadi “seolah-olah”. Tengoklah, seperti kasus korupsi “seolah-olah” selesai dengan hak angket perkara bank Century.

Apa artinya jika politik jatuh dalam kenaifan? Makin menipis atau makin memudarnya pengharapan. Itulah yang terjadi. Kasus hukum yang menimpa Minah dan Pritasari menarik dijadikan contoh ketika mengeluh, “Aku lelah, tidak tahu lagi ke mana harus mencari keadilan!” Minah adalah perempuan buta hukum yang dituduh mencuri tiga kakao dan lantas diseret ke sebuah selebrasi pengadilan. Sementara Pritasari adalah seorang ibu rumah tangga yang babak belur oleh deretan sistem hukum yang menyeretnya, lantaran email keluhan atas perlakuan aneh dari sebuah rumah sakit ternama di Tanah Air.

Lewat buku ini, E. Armada Riyanto mengajak kita untuk memahami politik tidak sekadar berdasarkan fakta-fakta keseharian yang telah mengalami reduksifasi, tetapi perlu pula beranjak ke dalam bingkai saintifikasi, yaitu memberi artikulasi bahwa politik ada dalam ranah keilmuan. Saintifikasi politik diperlukan untuk mengimbangi makna politik yang kerap terjerembab dalam ingar-bingar aneka intrik perebutan kekuasaan, yang menyebabkan maknanya jauh dari ranah keilmuan. Saintifikasi politik dimaksudkan berada dalam proses mengedepankan rasionalitas, bukan emosialitas; atau strategi, bukan intimidasi; kecerdasan, bukan manipulasi; keindahan paradigma, bukan kepalsuan; kedalaman refleksif, bukan kedangkalan letupan-letupan provokatif (hlm. 15).

Aneka uraian refleksi-filosofis buku ini memiliki bahasa lugas dan jernih. Mengangkat peristiwa sehari-hari secara tajam, menawarkan cara-cara baru dan mendalam untuk mengenali duka dan kecemasan societas, memaknai pengalamannya secara kaya, mengkritik kenaifannya, serta membela otentisitas kebenarannya dalam tata kelola hidup bersama. Metodologi yang diterapkan oleh E. Armada Riyanto adalah philosophical-phenomenological-sketchy, yang memungkinkan masuk serta merambah tema-tema besar dalam dunia politik, seperti sejarah Indonesia, Pancasila, hukum, identitas, terorisme, persahabatan societas, dan lain-lain.

Namun demikian, terdapat celah kecil dalam buku ini, yang menurut saya masih perlu terus dikembangkan lebih lanjut. Ini terjadi karena di dalamnya merupakan kumpulan-kumpulan tulisan dari pidato profesorat E. Armada Riyanto, sehingga pada bagian-bagian tertentu terkesan kurang tuntas mengeksplorasi argumen-argumen filosofisnya.

Sebab kekuatan buku ini justru sebenarnya terletak pada pilihan disiplin filsafat yang dijadikan spektrum dalam membaca politik. Berfilsafat politik berarti menggali arti terdalam dari “apakah politik” itu. Jika makna politik dilepaskan dari filsafat, politik akan mudah tercebur ke dalam konflik, persaingan, dan bahkan perang. Logika konflik adalah logika menang kalah. Berfilsafat politik dalam bahasa Charles Taylor memiliki tujuan menjadikan dunia ini the enchanted world (dunia yang memesona).

Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik. Bedanya ada dalam ranah “perspektif”. Yang pertama memiliki perspektif filosofis, yang kedua tidak. Selain itu, perspektif ilmu memiliki cakupan pembahasan dan metodologi yang tunduk pada ranah ilmiah empirik (hlm. 33), sementara filsafat melampaui kerangka kaku itu.

Dalam bahasa lain, berfilsafat politik menurut E. Armada Riyanto adalah aktivitas dan tugas manusia sejauh manusia. Aktivitas ini milik setiap orang, tidak hanya politikus atau tokoh masyarakat. Artinya, sejauh manusia berpikir dengan akal budinya, setiap orang memiliki perhatian (concern), rasa cinta (care), dan keterlibatan (involvement) pada tata hidup societasnya.

Politik merupakan perkara tata kelola hidup bersama, yang dalam konteks Indonesia tidak mungkin dicabut dari akar sejarah peziarahannya sebagai bangsa, berupa kekayaan identitas di satu pihak, dan bergumul dengan konflik dan ketegangan di pihak lain. Lebih-lebih di era postmodern di mana kulturalitas dan religiusitas campur baur, Indonesia mengalami dinamika ups and down yang konstruktif-dekonstruktif dalam perjalanannya.

Selamat membaca!

*Ali Usman, peneliti di Laboratorium Filsafat Fakultas Ushuludin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar